bekajar besama

bekajar besama

Senin, 18 Oktober 2010

FREE WILL DAN PREDISTINATION

FREE WILL DAN PREDISTINATION

A. Mu’tazilah
Al-Juba’i menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya (al-istita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jabbar. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan melainkan manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Perbuatan ialah apa yang dihasilakan oleh daya yang bersifat baharu. Manusia adalah mahluk yang dapat memilih.
Disini timbul pertanyaan, daya siapakah dalam faham Mu’tazilah yang mewujudkan perbuatan manusia, daya manusia atau daya Tuhan? Dari keterangan-keterangan Mu’tazilah diatas mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah prbuatan manusia itu sendiri dan bukan perbuatan Tuhan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bagi Mu’tazilah,daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Jadi dalam faham kaum Mu’tazilah, kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan dan daya manusia sendiri. Dan tak turut campur dalamnya kemauan dan daya Tuhan.
Untuk memperkuat faham diatas, kaum Mu’tazilah membawa argumen argumen rasionil dan ayat-ayat Al-Qur’an. Argumen yang diajukan oleh Abd al-Jabbar adalah sebagai berikut: Manusia yang berbuat jahat terhdap sesama manusia, jika sekiranya perbuatan adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, perbuatan jahat itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat zalim, hal ini tak dapat diterima akal. Ayat-ayat yang diajukan Abd al-Jabbar, utuk memperkuat argumen-argumen rasionil diatas, antara lain adalah:



Ayat ini, kata Abd al-Jabbar mengandung dua arti, Pertama: ahsana berarti “berbuat baik” dan dengan demikian semua perbuatan Tuhan merupakan kebajikan kepada manusia, dan ini tidak mungkin, karena perbuatan-perbuatan Tuhan ada yang tidak merupakan kebajikan, seperti siksaan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu yang dimaksud dengan ahsana di sini ialah arti ke dua yaitu baik. Semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena diantara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat.
Juga diajukan ayat-ayat yang menerangkan bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya seperti:



Sekiranya perbutan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, pemberian balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia, sebagaimana disebut dalam ayat ini, tidaka ada artinya. Agar ayat ini tidak mengandung dusta, Abd al-Jabbar mengatakan perbuatan-perbuatan manusia haruslah betul-betul perbuatan manusia.


Seterusnya dibawakan pula ayat:



Ayat ini memberikan manusia kebebasan untuk percaya atau tidak, sekiranya perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia, maka ayat ini tak ada artinya.
Maka jelaslah sudah bahwa bagi Mu’tazilah perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi adalah perbatan manusia sendiri.

B. Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah dalam hal ini lebih dekat kepada faham jabariyah dari pada kefaham Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahanya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-kasb (acquisition, perolehan). Faham al-kasb sulit untuk dapat ditangkap, dan demikian sulitnya sehingga ucapan “ lebih sulit dari kasb al-Asy’ari menurut Abu Uzbah, telah menjadi perumpamaan.
Arti iktisab, menurut al-Asy’ari ialah bahwa sesuatu terjadi perantaraan dengan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul perbuatan itu. Didalam bukunya al-Luma’, ia memberi penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-Kasb ialah bahwa sesuatu timbul dari al- Muktasib (acquirer, yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan.
Term-term “diciptakan” dan “memperoleh” mengadung kompromi antara kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekiasaan mutlak Tuhan, dan pertanggungan jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya. Kata-kata timbul dari yang memperoleh (waqa’a min al-muktasib) membayangkan kepasifan dan kelemahan manusia. Kasb atau perolehan mengandung arti keaktifan dan dengan demikian tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Tetapi keterangan bahwa kasb itu adalah ciptaan Tuhan, menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan.
Argumen yang diajukan oleh al-Asy’ari tentang dicipkannya kasb oleh Tuhan adalah ayat:



Wa ma ta’malun, disini diartikan oleh al-Asy’ari “apa yang kamu perbuat’ dan bukan “apa yang kamu buat” dengan demikian ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, dalam faham al-Asy’ari perbuatan-perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Dan tidak ada pembuat (fa’il atau agent) bagi kasb kecuali Allah. Sebenarnya pendapat al-Asy’ari yang demikian dapat dilihat dari uraianya mengenai perbuatan-perbuatan invonlunter (harkah al-idtirar) dari manusia. Dalam perbuatan-perbuatan invonlunter, kata al-Asy’ari, terdapat dua unsur, penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang bergerak. Penggerak yaitu pembuat gerak yang sebenarnya (al-fa’il laha ‘ala haqiqatiha), adalah Tuhan dan yang bergerak adalah manusia. Yang bergerak tidaklah Tuhan karena gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani. Dari uraian al-Asy’ari jelaslah kiranya bahwa Tuhan menciptakan perbuatan-perbuatan manusia adalah”Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia. Dan arti “timbulnya perbuatan-perbuatan dari manusia sebenarnya merupakan tempat bagi perbuatan-perbuatan Tuhan”. Oleh karena itu dalam teori al-Kasb sebenarnya tidak ada perbedaan al-Kasb deagan perbuatan involunter dari manusia.
Tetapi bagaimanapun pembuat dari kedua macam perbuatan itu, adalah Tuhan dan manusia hanya merupakan alat untuk berlakunya perbuatan Tuhan,
Dalam memperbincangkan soal kehendak Tuhan, al-Asy’ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segalah apa yang mungkin dikehendaki. Ayat yang dipakai untuk memperkuat pendapatnya adalah:



Yang diartikan oleh Asy’ari bahwa manusia tidak bisa menghendaki sesuatu kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu. Jadi seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke Makkah kecuali jika Tuhan menghendaki seseorang itu supaya berkehendak ke Makkah.
Al-Ghazali juga memberikan keterangan yang sama. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia dan daya untuk berbuat dalam diri manusia. Perbutan manusia terjadi dengan daya Tuhan dan bukan dengan daya manusia, sungguhpun yang tersebut terakhir ini erat hubungannya dengan perbuatan itu. Oleh karena itu tak dapat dikatakan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya. Dalam faham Asy’ari untuk mewujudkan perbuatan perlu ada dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang efektif pada akhirnya dalam perwujudan pebuatan manusia ialah Tuhan. Sebagaimana diterangkan al-Isfarayini daya manusia tidaklah efektif kalau tidak disokong oleh daya Tuhan.
Demikian faham al-kasb sebagaimana diterangkan oleh pemuka Asy’ariyah, Muhammad Abduh memberi penjelasan yang lain mengenai, yang didasarkan atas definisi al-kasb yang diberikan oleh al-Syahrastani. Dalam al-Milal al-Syahrastani mengatakan bahwa al-kasb adalah perbuatan yang terletak didalam lingkungan kekuasaan daya yang diciptakan, dan diwujudkan dengan perantaraan daya yang diciptakan. Definisi ini menurut Abduh mengandung arti bahwa daya manusia turut serta (li al-qudrah madkhal) dalam perwujudan perbuatan. Oleh karena itu Abduh berpendapat bahwa manusia dalam teori al-kasb tidaklah seluruhnya bersifat pasif, sebagaimana dalam halnya faham Jabariyah atau predestination.

C. Maturidiyah Bukhara dan Samarkhan.
Berpendapat kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. Dan ini selanjutnya mengandung arti fatalisme (paksaan) dan bertentangan dengan faham Maturidi tentang kebebasan memilih yang disebut diatas. Tetapi sebagai pengikut Abu Hanifah al- Maturidi membawa kedalam hal ini faham masyi’ah (kemauan dan ridho atau kerelaan). Manusia melakukan perbuatan baik dan buruk atas kehendak Tuhan tapi tidak selamanya dengan kerelaan hati Tuhan.
Jadi kehendak dalam faham Maturidi bukanlah kehendak bebas seperti yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Kebebasan kehendak disini bukanlah kebebsan untuk berbuat sesuatu yang tak dikehendaki Tuhan, tetapi kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai Tuhan. Dengan perkataan lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan dalam memilih antara apa disukai dan tidak disukai Tuhan. Jelas bahwa kebebasan serupa ini lebih kecil dari kebebasan dalam menentukan kehendak yang terdapat dalam aliran Mu’tazilah.
Dengan demikian kehendak dan daya berbuat bagi Al- Maturidi adalah kehendak dan daya manusia dalam arti sebenarnya bukan dalam arti kiasan. Adapun Maturidiyah Bukhara, menurut al- Bazdawi kehendak berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat dalam faham golongan Samarkand. Mereka juga mengikuti Abu Hanifah dalam faham kehendak dan kerewlaan hati Tuhan. Kebebasan kehendak bagi mereka hanyalah kebebasan untuk berbuat tidak dengan kerelaan hati Tuhan. Daya juga sama yaitu daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Golongan ini juga berpendapat bahwa untuk mewujudkan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk menciptakan daya yang ada pada manusia bisa untuk melakukan perbuatan. Hanya Tuhan yang dapat mencipta.
D. Kesimpulan

Aliran Kehendak Daya Perbuatan
Mu’tazilah Manusia Manusia Manusia
Maturidiah Samarkand Manusia Manusia Manusia
Maturidiah Bukhara Tuhan Tuhan ( efektif )
Manusia Tuhan (sebenarnya)
Manusia (kiasan)
Asy’ariah Tuhan Tuhan (efektif)
Manusia
(tidak efektif) Tuhan (sebenarnya)
Manusia (kiasan)
Jabariah Tuhan Tuhan Tuhan



DAFTAR PUSTAKA
Nasution,Harun.1986. Theology islam aliran-aliran sejarah analisa perbandinagan agama. Jakarta;Bulan bintang
Al- Baqillani.Penmikiran Baqilani (Study tentang kesamaan dan perbedannya dengan As ‘Ariyah).








FREE WILL DAN PREDISTINATION

Tugas Ini Di Susun Guna Memenuhi Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu: Drs. Sudarno Sobron, M.Ag





Disusun Oleh:

Mukhammad Khakim
H 000080002


USHULUDDIN
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010

Tidak ada komentar: