bekajar besama

bekajar besama

Minggu, 04 September 2011

Senyuman Bara Api

Di setiap sudut bumi ini udara dapat dihirup secara bebas. Meskipun tipis seperti sekat pemisah antara kehidupan dan kematian. Udara adalah bukti cinta Tuhan kepada manusia. Di sudut lainnya daratan yang acak-acakan dilahap badai seperti seorang anak kecil yang sedang meniup mainan balon dari air sabun, angin itu berputar-putar, menggelagak, berderu, mengoncang-goncangkan seluruh pohon dan bagunan yang ada, lalu awan pekat membumbung berputar-putar membawa beribu-ribu ton kubik air. Langit membelah diri seperti amoeba yang sedang bereproduksi, pada satu bagian air bah tumpah ruah meneggelamkan manusia-manusia serakah.

Pada bagian lainnya matahari bersinar begitu ramah, sinarnya lembut merambati daun-daun dan memantul di atas cermin laut, terjebak di atas Troposfer menari-nari bersama ultaraviolet dari kristal-kristal awan yang berubah menjadi denting-denting gelas piala. Sementara sebagian lagi memantul kembali ke bumi membakar gudang-gudang busuk yang ditempati kutu. Api itu menyulut seluruh bangunan dan membentuk titik-titik huruf Braille, yang apabila huruf itu diterjemahkan kedalam bahasa manusia akan berbunyi:

“H.....E.....L...P. “HELLLPPPPPPP...!!!”

Aku merunduk gugup, jantungku berdetak mengoyak-ngoyak dadaku. Kutu-kutu kupret merambati rambutku senaknya, serangga-serangga pengisap darah menaiki jengkal demi jengkal kakiku yang berderik gemetar, mataku pedih nanar menahan rasa takut. Aku tak tahu mengapa bisa terjebak di tempat busuk ini, bau busuk tumpukan jerami dan daun tebu kering menusuk-nusuk liar kedalam lambung, tubuhku terasa gatal seribu gatal, gatal bercampur perih dan rasa takut, semut nyangkrang mengencingi rambutku beberapa kali. Tokek berteriak-teriak mengusirku dari rumahnya. Sontol Si Rambut Landak, menahan nafasnya sampai berkali-kali hembusan nafasnya keluar dari bawah, dan anehnya nafas itu agak berbeda, baunya seperti comberan mampet yang ditiduri mayat tikus. Perut ini rasanya seperti adonan bolu yang dicampur berputar-putar, melit-lilit pengen muntah. Dan biang dari segala biang kesialan ini, menikmati setiap detik ketegangan yang diciptakannya. Di situasi kalut seperti ini dia masih sempat tertawa memamerkan gigi-gigi kuningnya dan memperlihatkan matanya yang sipit. Dia menggaruk-garuk kulit sisiknya yang mulai dirambati semut dan cicak. Tiok benar-benar menyesatkan kami ke lokalisasi sesat ini. Lokalisasi mesum para serangga dan kaum reptil kecil. Di gudang bobrok busuk tempat penyimpanan jerami dan daun tebu ini. Aku mengutuku diriku sendiri mengapa aku mau terbujuk rayu dan tipuan muslihatnya. Kami bertiga terjebak di gudang busuk ini gara-gara dikejar warga kampung dengan bersenjata lengkap. Kami bermaksud berburu burung yang tidur dipohon-pohon untuk disate. Tapi justru kami diteriaki maling sehingga dikejar-kejar warga kampung yang sedang kalut karena memang sedang musim maling. Kami lari pontang-panting seperti tikus dikejar kucing, merayap-rayap seperti ular di atas tanggul tanaman tebu, merangkak di bawah galengan ubi jalar dan akhirnya tersesat di gudang penyimpanan jerami dan daun tebu terkutuk ini.

Suara keributan di luar semakin dekat, cahaya lampu obor dan senter menembus lubang-lubang papan dari gudang busuk ini, derap langkah puluhan orang mengelilingi gudang semakin menakutkan, beberapa kali terdengar orang memukul-mukulkan celurit dan linggis ke dinding gudang tanda kesal. Berkali-kali terdengar suara umpatan dari para pemuda yang marah bercampur kesal. Mereka mengatai kami dengan seribu sebutan untuk seluruh isi kebun binatang yang menjijikkan dan mengesalkan.

Aku menahan nafas untuk beberapa menit agar tak digigit vampire pengisap darah, seekor kalajengking dan laba-laba mendarat di jidatku. Mereka mengira jidatku yang lebar sebagai lapangan bola. Laba-laba dan kalajengking itu bertengakar berdebat masalah tempat wilayah. Kalajengking mengangkat ekornya yang tajam seperti busur tombak, mencubit-cubit kulit jidatku dengan kakinya untuk menakuti dan mengusir laba-laba. Bukan Laba-laba namanya kalau mau kalah, tak akan ada lagi film Spiderman kalau laba-laba takut pada Kalajengking, laba-laba itu mengigit-gigitkan taringnya ke rambutku selayaknya sedang mengasah pedang, mengeluarkan beberapa centimeter jaring-jaring mautnya juga di jidatku. Sial sekali aku hari ini, nafasku sudah tak tertahankan lagi, aku ingin bangun dan melemparkan binatang terkutu ini.

“Suttttttssss...!! Tenang Men, jangan bergerak sedikitpun, aku akan menyelamatkan nyawamu...!!” Tiok berbisik pelan di telingaku.

“Dalam hitungan tiga, kamu harus menahan nafas panjang dan menutup matamu..!!” Dia kembali berbisik lirih di telingaku. Aku hanya mengedipkan mata, ingin sekali aku mencongkel mulut manusia sinting ini. Seenaknya saja dia bilang, menyuruhku menahan nafas untuk beberapa detik lagi, aku sudah tak kuat lagi, sudah hampir empat menit aku tak bernafas wajahku sampai merah padam menahan nafas. Apa dia pengen aku mati...!!

Tiok kembali melintangkan telunjuknya di bibir, sambil berbisik.

“Diam...!! Orang-orang kampung masih ada luar disana...!!”

Dia pun membentangkan kedua jari-jari tangannya, menutup satu-persatu jarinya untuk memberi kode hitungan, satu ibu jari, dua telunjuk, dan tiga jari tengah.

“Plackkk...Plackk...!!

Ceprottt...Ceprottt...!!”

“Awh...Awhhhh...!!”

Tiok memukul kedua serangga di jidatku tanpa ampun. Tak kira-kira dia menamparku dengan setengah tenaganya, pukulannya tepat pada sasaran. Dan ceprott...sial...!! Serangga itu gepeng hancur di jidatku, darahnya yang seperti lendir lengket membasahi jidatku. Ini seperti adegan melempar telur busuk kemuka koruptor. Hahhhh...!!! aku akan membuat perhitungan khusus dengan Tiok setelah ini. Sontol dan Tiok terkekeh-kekeh memegangi perut melihat mukaku yang penuh lendir serangga terkutuk tadi. Mereka bahagia sekali melihat aku merana. Teganya mereka, di situasi mencekam seperti ini mereka sempat menertawakanku.

“Pak RT bagaimana kalau gudang busuk tak berguna ini kita bakar saja...!! Dari pada dijadikan tempat dedemit bersembunyi...?” Suara seorang anak muda dari luar gudang memberi ide cerdas dan logis kepada Pak RT.

“Akhhh...!!”

Kami kembali menahan nafas, ternyata para pengejar itu masih disini. Sial sekali benar-benar sial, ide anak muda itu cerdas baginya. Perlu pertimbangan lagi bagi Pak RT yang bijak, dan ide itu gila bagi kami yang tersesat di dalam sini. Bagiamana mungkin ide itu akan membakar kami seperti udang lobster yang dipanggang hidup-hidup. Aku merinding mendengar ide gila anak muda itu, Tiok pucat menyesal, Sontol menggigil kedinginan karena takut. Aku ingin lari keluar saja menyerahkan diri pada para pengejar yang sedang kalap itu. Aku tak mau mati terbakar seperti lele panggang. Orang mati terbakar tak akan bisa dimandikan tubuhnya, kulitnya rontok melepuh bentuknya tak karuan. Dan cerita masyarakat orang yang mati terbakar dan tidak dimandikan arwahnya akan gentayangan, kepanasan minta dimandikan. Perasaanku dicengkram rasa takut dan bimbang yang begitu hebat. Mati terbakar...!! Mati terbakar...!! Mati terbakar...!! Kata-kata itu melayang-layang di depan mataku.

Aku teringat dengan kejadian satu tahun lalu, saat Mbah Iyur mati karena terbakar. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri saat Mbah Iyur terbakar, saat terakhir nafasnya dicabut malaikat Izroil, aku melihat dengan jelas sekali bagaimana keadaan fisik orang yang terbakar.

Saat itu aku dan Tiok sedang belajar main gitar di bawah pohon bambu belakang rumah kekekku. Bukan agar mendapat inspirasi bermain gitar di bawah pohon, melainkan karena aku diusir oleh kakekku karena suara gitar falsku membuat gendang telinganya serasa pecah. Aku memetik lagu Himne Guru yang menyedihkan itu, saat itu kami melihat kebon hamparan sawah tanaman tebu yang telah ditebang sepertiganya. Kami berencana meminta tebu untuk dimakan. Biasalah, anak kampung yang tak bisa membeli jajan di warung biasanya menggigit ampas tebu. Saat itu Mbah Iyur sedang berada disana membersihkan kelobot tebu-tebu yang masih muda. Kami minta izin untuk memetik beberapa pohon tebu. Setelah itu kami kembali ke tempat semula, bermain gitar. Kali ini aku memetik lagunya Koes Plus Kolam Susu.

Belum dua menit kami duduk, tiba tiba terdengar suara gemeretak seperti kayu patah, namun angin yang berhembus begitu kencang menyamarkan suara itu. Aku tak mau ambil pusing dengan suara itu, suaraku tetap lempeng dengan Kolam Susu. Suara gemeretak itu semakin menjadi-jadi, diiringi suara ledakan-ledakan kecil dari ranting-ranging basah yang terbakar. Ketika aku membalikkan badan. Masyallah...!!

Api membumbung tinggi seperti raksasa yang hendak menerkam mangsanya. Api itu berada tak jauh dari kami kira-kira lima belas meter. Api berkobar-kobar mengulung-gulung kebon tebu yang mulai tua itu. Asap hitam mengepul tinggi membentuk awan raksasa. Bukan takut atau kawatir, melainkan takjub dan senang itulah yang ada dalam fikiran anak-anak saat itu. Bagiku pemandangan itu indah sekali, seperti api ungun raksasa yang hendak membakar langit, suara ledakan-ledakan kecil itu mengiringi bagaikan bedug hari kemenangan. Aku dan Tiok bertepuk tangan girang. Tak terpikirlah berapa kerugian yang timbul dari kebakaran itu, tak terpikir pula siapa pemilik kebon tebu itu. Intinya di mata kami api itu hebat. Angin berhembus begitu kencangnya meniup api dengan sangat keras. Api itu tertawa dan semakin menjadi-jadi membakar kebon tebu yang luasnya berhektar-hektar. Sekawanan burung terbang lari tungang langgang menyelamatkan diri, dan saat itu pula jam seolah berhenti berdetak karena kehabisan batre, jantungku macet. Aku melonggo, ingat akan orang-orang yang sedang mencari kayu tebu kering tadi. Apa mereka sudah pulang? Apa mereka sudah pergi? Apa mereka tahu kalau tebu tempat mereka mencari kayu telah terbakar? Apakah mereka selamat? Aku dihinggapi berpuluh-puluh pertanyaan.

Rasa penasaran kami atas pertanyaan kami sendiri semakin memuncak. Aku dan Tiok berlari mendekati api itu, sungguh...!! Aku tidak bohong, panasnya minta ampun mahluk ciptaan Tuhan yang bernama api itu. Kami berdiri pada jarak lima meter dan berusaha mendekat, namun panas terasa membakar kulit dan wajah, nyali kami menciut. Aku naik keatas pohon petai cina untuk melihat kejadian itu dari atas. Agar lebih jelas aku kembali menaiki ranting demi ranting hinggga sampai pada bagian yang tertinggi. Mengagumkan sekali api itu, dalam waktu tak kurang dari dua menit sudah melalap mentah-mentah lahan tebu seluas dua hektar, dan kekejamannya itu akan terus dilakukan sampai lahan seluas sepuluh hektar itu habis. Aku merinding melihat api yang bergulung-gulung lima meter di depanku. Dan saat itu, saat aku memandang ke arah tenggara.

“Astaughfirullah...!! Astaughfirullah...!!”

Aku melihat seorang laki-laki tua sedang berlari menyelamatkan diri dari kepungan api. Laki-laki tua itu berlari pontang-panting dikejar api. Dia menerobos tebu-tebu yang masih muda, namun galengan yang ada membuat langkahnya lambat, api yang ditiup angin itu terus mengejarnya. Pak tua itu lari ke kanan, api mengejarnya ke kanan, Pak tua itu lari ke kiri api mengejarnya ke kiri, Pak tua itu berlari mundur ke belakang namun api telah mengepungnya dari segala sisi. Aku panik bukan kepalang, aku berteriak-teriak sekencang-kencangnya agar Pak tua itu berlari kearah selatan, meskipun menerobos api, namun itulah satu-satunya jalan, lapisan api itu lebih tipis dibanding dengan semua sudut yang mengepungnya. Aku berteriak-teriak sekencang-kencangnya sampai pita suaraku mau pecah, sampai tenggorokanku kering dan perih. Pak tua itu masih berusaha mempertahankan hidupnya. Suaraku telah habis, mukaku pucat pasi, mataku merah karena air mata, aku melompat dari ketinggian sepuluh meter tanpa rasa takut. Wajahku tampak sangat panik, Tiok mengira aku kesurupan, mataku melotot-lotot menjelaskan kepada Tiok tentang apa yang terjadi, suaraku kering. Tiok tak percaya, lagi-lagi dia mengira aku kesurupan. Aku berlari mendekati api yang membakar kebon tebu itu. Tiok menarik-narik tanganku berusaha mencegah. Aku berada pada jarak satu meter, kulihat samar dari bayang-bayang sela api, topi koboy Pak tua itu terlempar ke udara dibawa api bercampur angin. Bayangan tua itu berputar-putar, terjatuh lalu bagkit lagi, dan kembali terjatuh. Aku menerobos api yang berada di depanku karena sedikit mulai padam. Tiok menarik tanganku dengan sekuat-kuatnya, dia ikut panik, aku menangis...!!Tiok masih mengira aku kesurupan, aku menampar-nampar wajahku sendiri agar Tiok percaya padaku. Api telah membakar tempat itu hampir lima belas menit.

Tim pemadam kebakaran kampung datang terlambat seperti Polisi India. Warga kampung berbondong-bondong memadati lokasi kebakaran itu. Semua melongo seperti menonton film menegangkan yang memicu adrenalin meraka. Beberapa orang tersenyum bertepuk tangan. Aku menerobos api yang mulai padam itu. Sandal jepit swallow-ku meleleh terbakar api yang menjalar di bawah. Kakiku perih, nafasku perih, mataku perih dan yang paling perih adalah hatiku karena tak bisa berbuat apa-apa saat melihat Pak tua itu berlari kalang kabut menghindari api. Aku membuang sandal jepitku yang telah meleleh. Aku terus berlari mencari dimana lokasi Pak tua tadi jatuh. Aku terus mencari-cari. Tebalnya asap menganggu pandangan. Aku tak perduli dengan perihnya kakiku, aku terus berlari. Bau tengik asap membuat sesak nafasku, berkali-kali aku menaiki dan menuruni galengan. Aku terus mencari...!!

Mulutku menggigil di tengah panasnya api, gigiku gemelatuk, persendianku lumpuh, tulang-tulanku kaku, air mataku menetes ke atas tanah yang terbakar. Aku melihatnya, dimulai dari lutunya yang menekuk ke atas punggung galengan, lutut itu masih bergetar-getar. Aku berlari semakin kencang.

“Astaugfirullahaladim...!!

Pak tua itu tertidur di bawah galengan, kondisinya sangat memprihatinkan. Aku hampir tak sanggup untuk melihat keadaannya, bajunya telah hancur lebur menjadi abu, tak ada satupun kain menempel di tubuhnya. Kulitnya mengelupas, dagingnya mengeluarkan cairan lendir putih, kakinya menganga merah seperti arang yang menyala, tubuhnya telah hangus, rambutnya tak ada satu pun yang tersisa, dadanya robek, kuku-kukunya lepas, matanya terpejam, mulutnya mengeluarkan busa seperti orang overdosis. Pak tua itu masih mengetar-getarkan mulutnya yang berbusa, dia berusaha untuk bicara, nafasnya putus-putus seperti kerbau disembelih, hidungnya mengeluarkan darah yang telah hangus. Dan baunya sungguh amis bercampur hangus bukan dibuat-buat, sangit dan sangat menyengat hidung, pengar seperti aroma mayat yang menusuk-nusuk indra penciuman. Tak salah jika orang-orang mengatakan mayat manusia adalah mahluk yang paling busuk dan bau.

Aku berteriak-teriak minta tolong di tengah hamparan luas kebon tebu yang telah rata menjadi tanah. Tim pemadam kebakaran masih sibuk memadamkan api yang membakar kebon tebu sampingnya. Orang-orang kampung seolah-olah telah tuli semua, mereka sibuk melihat pemandangan api yang membakar ranting basah meledak-ledak seperti kembang api. Aku dan Tiok memutuskan untuk mengangkat tubuh Pak tua itu. Saat pertama kupegangi tubuh Pak tua itu, kulit-kulitnya terlepas, aku kembali mengangkat tubuh panas itu. Pak tua itu masih bernafas, aku dan Tiok berlari membopong tubuh Pak tua itu ke jalan raya, lima hektar jaraknya. Bau amis tak kami hiraukan, tangan kami ikut terasa panas terbakar, kulit dan daging yang terlepas menepel di jari-jari kami. Akhirnya sampai juga kami di jalan raya. Aku panik lari kesana-kemari menyetop kendaraan untuk membawa Pak tua itu kerumah sakit. Aku berdiri di tengah jalan raya membentangkan kedua tanganku seperti orang mau bunuh diri. Banyak mobil yang berhenti, namun tak ada satupun yang bersedia mengangkut tubuh hangus itu. Aku mengedor-gedor setiap pintu mobil, mereka hanya melongo melihat tindakan gilaku melalau kaca jendela. Aku menangis tapi air mataku kering, aku seperti orang gila. Setiap mobil kusumpah-sumpai dengan kata-kata kotor, aku mengutuk tidakan orang-orang kaya tak punya perasaan itu.

Lima belas menit kemudain barulah ada sebuah truk pengangkut pasir berhenti, turun beberapa orang, mereka adalah pihak keluarga korban. Sang istri pingsan di tempat. Anak laki- lakinya yang berbadan segede gajah juga langsung jatuh lemas terkulai ketika melihat kondisi bapakanya. Aku dan Tiok mengangakat tubuh Pak tua itu ke atas bak truk pasir, dan truk pun meluncur menuju rumah sakit dengan sangat kencang. Sang sopir membabi buta. Namun saat setengah kilo lagi sampai ke rumah sakit, Pak tua itu mengerakkan tangannya. Ia menyerahkan sebuah benda yang ada di genggamnya sejak tadi ke tanganku. Pak tua itu merengang nyawa, malaikan Izroil menarik nyawanya dari atas ubun-ubun. Ia tersenyum dalam iringan bau hagus dan amis. Air mataku tumpah di atas bak truk pasir. Pak tua itu telah kaku, nafasnya telah hilang di hisap udara. Aku menangis pilu meratapi nasib Mbah Iyur lelaki murah senyum itu, tetangga kampungku. Aku membuka gengaman di tanganku. Sebuah benda yang dipertahankan oleh Mbah Iyur. Sebuah benda yang diselamatkan Mbah Iyur sampai detik nafas terakhirnya adalah sebuah kunci sepeda kumbang milik Mbah Iyur. Namun bukan kunci itu yang berharga bagi Mbah Iyur, melainkan gantungan yang ada di kunci sepeda itu. Gantungan kunci itu terbuat dari tembaga yang dicurah, dimodel dan dilapisi indah dengan kaca bening. Pada bagian depannya teradapat tulisan lafal Allah dari bahan menkilat bercahaya sejenis kuningan, dan pada bagian belakangnya terdapat tulisan:

Ashaduanla illa haillallah, wa ashaduana Muhammad darosulallah.

Kartasura, Sukoharjo 2009

Sepenggal hikmah di balik kisah oleh: Ali Ardianto

Mahasiswa Fakultas Agama Isalam

Jumat, 13 Mei 2011



TASAWUF
oleh Harun Nasution
 
Tujuan  tasawuf  adalah  mendekatkan  diri  sedekat  mungkin
dengan  Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati
bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat  yang
menjadi  dasar  pendekatan  diri  itu adalah, pertama, Tuhan
bersifat rohani, maka bagian  yang  dapat  mendekatkan  diri
dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah
Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya
adalah  roh  yang  suci.  Tasawuf  adalah ilmu yang membahas
masalah  pendekatan  diri  manusia  kepada   Tuhan   melalui
penyucian rohnya.
 
ASAL KATA SUFI
 
Tidak  mengherankan  kalau  kata  sufi dan tasawuf dikaitkan
dengan   kata-kata   Arab   yang   mengandung   arti   suci.
Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
 
1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang
   disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan
   diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama
   salat dan puasa.
 
2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris
   pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh
   orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca
   ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat
   datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha
   membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
 
3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama
   Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di
   Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin,
   tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan
   memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah,
   sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia
   dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum
   sufi.
 
4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam)
   yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat.
   Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos
   telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan
   ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang
   terdapat dalam kata tasawuf.
 
5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang
   ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah
   yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang
   ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini
   melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan
   dari dunia.
 
Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir  inilah  yang
banyak  diterima  sebagai  asal kata sufi. Jadi, sufi adalah
orang yang memakai wol  kasar  untuk  menjauhkan  diri  dari
dunia  materi  dan  memusatkan  perhatian  pada alam rohani.
Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim
al-Kufi di Irak (w.150 H).
 
ASAL-USUL TASAWUF
 
Karena   tasawuf  timbul  dalam  Islam  sesudah  umat  Islam
mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat  Yunani  dan
agama  Hindu  dan  Buddha,  muncullah  anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
 
Ada  yang   mengatakan   bahwa   pengaruhnya   datang   dari
rahib-rahib  Kristen  yang mengasingkan diri untuk beribadat
dan mendekatkan diri kepada Tuhan  di  gurun  pasir  Arabia.
Tempat  mereka  menjadi  tujuan  orang yang perlu bantuan di
padang yang gersang. Di siang  hari,  kemah  mereka  menjadi
tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari
lampu  mereka   menjadi   petunjuk   jalan   bagi   musafir.
Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong.
Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk
sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
 
Pengaruh  filsafat  Yunani  dikatakan berasal dari pemikiran
mistik Pythagoras. Dalam  filsafatnya,  roh  manusia  adalah
suci  dan  berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia
materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang  bernafsu.  Roh
yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu
tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu
ia  harus  menyucikan  diri dengan memusatkan perhatian pada
fllsafat  serta  ilmu  pengetahuan  dan  melakukan  beberapa
pantangan.  Filsafat  sufi  juga demikian. Roh yang masuk ke
dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam  rohani  yang
suci,   tapi  kemudian  dipengaruhi  oleh  hawa  nafsu  yang
terdapat dalam  tubuh  manusia.  Maka  untuk  dapat  bertemu
dengan  Tuhan  Yang  Maha  Suci,  roh  yang  telah kotor itu
dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
 
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh  itu  dikaitkan  dengan
filsafat  emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan
akan kembali ke Tuhan. Tapi,  sama  dengan  Pythagoras,  dia
berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga
kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama  masih  kotor,
ia  akan  tetap  tinggal  di bumi berusaha membersihkan diri
melalui  reinkarnasi.   Kalau   sudah   bersih,   ia   dapat
mendekatkan  diri  dengan  Tuhan  sampai  ke tingkat bersatu
dengan Dia di bumi ini.
 
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat  dalam
ajaran  tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran
al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak  akan  kembali
ke  hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh
pergi ke alam barzah menunggu  datangnya  hari  perhitungan.
Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di
dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
 
Dari  agama  Buddha,  pengaruhnya  dikatakan   dari   konsep
Nirwana.  Nirwana  dapat  dicapai dengan meninggalkan dunia,
memasuki hidup kontemplasi dan  menghancurkan  diri.  Ajaran
menghancurkan  diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat
dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama  Hindu  dikatakan
datang  dari  ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui
kontemplasi  dan  menjauhi  dunia  materi.   Dalam   tasawuf
terdapat  pengalaman  ittihad,  yaitu  persatuan roh manusia
dengan roh Tuhan.
 
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani
dan  agama  Kristen  datang  lama  sebelum Islam. Bahwa yang
kemudian  datang  dipengaruhi  oleh  yang  datang  terdahulu
adalah   suatu   kemungkinan.   Tapi   pendapat  serupa  ini
memerlukan bukti-bukti historis.  Dalam  kaitan  ini  timbul
pertanyaan:  sekiranya  ajaran-ajaran  tersebut diatas tidak
ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam  diri  Islam
sendiri?
 
Hakekat  tasawuf  kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam  ajaran  Islam,  Tuhan  memang  dekat  sekali   dengan
manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan
Hadits. Ayat 186 dari  surat  al-Baqarah  mengatakan,  "Jika
hambaKu  bertanya  kepadamu  tentang Aku, maka Aku dekat dan
mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
 
Kaum sufi mengartikan  do'a  disini  bukan  berdo'a,  tetapi
berseru,  agar  Tuhan  mengabulkan  seruannya  untuk melihat
Tuhan dan berada dekat  kepada-Nya.  Dengan  kata  lain,  ia
berseru  agar  Tuhan  membuka hijab dan menampakkan diri-Nya
kepada yang berseru.  Tentang  dekatnya  Tuhan,  digambarkan
oleh  ayat  berikut,  "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka
kemana saja kamu berpaling di situ  ada  wajah  Tuhan"  (QS.
al-Baqarah  115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja
Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak  perlu  pergi
jauh, untuk menjumpainya.
 
Ayat  berikut  menggambarkan  lebih  lanjut  betapa dekatnya
Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan  Kami
tahu  apa  yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih
dekat dengan manusia daripada pembuluh  darah  yang  ada  di
lehernya  (QS.  Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada
bukan diluar diri manusia,  tetapi  di  dalam  diri  manusia
sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui
dirinya mengetahui Tuhannya."
 
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu  pergi  jauh;  cukup  ia
masuk  kedalam  dirinya  dan  Tuhan  yang  dicarinya akan ia
jumpai dalam dirinya  sendiri.  Dalam  konteks  inilah  ayat
berikut  dipahami  kaum  sufi,  "Bukanlah kamu yang membunuh
mereka, tapi Allah-lah yang  membunuh  dan  bukanlah  engkau
yang   melontarkan  ketika  engkau  lontarkan  (pasir)  tapi
Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
 
Disini,  sufi  melihat  persatuan  manusia   dengan   Tuhan.
Perbuatan  manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat
bukan hanya kepada manusia, tapi juga  kepada  makhluk  lain
sebagaimana  dijelaskan  hadis  berikut,  "Pada  mulanya Aku
adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku  ingin  dikenal.
Maka   Kuciptakan   makhluk,   dan  melalui  mereka  Aku-pun
dikenal."
 
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk  bersatu,  dan
bukan   manusia   saja  yang  bersatu  dengan  Tuhan.  Kalau
ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan  manusia
dengan  Tuhan,  hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat
al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
 
Demikianlah   ayat-ayat   al-Qur'an    dan    Hadits    Nabi
menggambarkan  betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga
kepada makhluk-Nya yang  lain.  Gambaran  serupa  ini  tidak
memerlukan  pengaruh  dari  luar  agar  seorang muslim dapat
merasakan kedekatan Tuhan  itu.  Dengan  khusuk  dan  banyak
beribadat  ia  akan  merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat
Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya  mengalami  persatuan
rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
 
JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN
 
Jalan  yang  ditempuh  seseorang  untuk  sampai  ke  tingkat
melihat  Tuhan  dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan
Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun  orang
harus  menempuh  jalan  yang  sulit  itu.  Karena  itu hanya
sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf.
Jalan  itu  disebut  tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah
berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.
 
Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri,  dibagi  kaum
sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut
maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil  berusaha
keras   untuk   membersihkan  diri  agar  dapat  melanjutkan
perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut
diatas  penyucian  diri  diusahakan melalui ibadat, terutama
puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir.  Maka,  seorang
calon  sufi  banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat
dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian
diri calon sufi secara berangsur.
 
Jelas  kiranya  bahwa  usaha penyucian diri, langkah pertama
yang   harus   dilakukan   seseorang   adalah   tobat   dari
dosa-dosanya.  Karena  itu,  stasion  pertama  dalam tasawuf
adalah tobat. Pada mulanya seorang calon  sufi  harus  tobat
dari  dosa-dosa  besar  yang  dilakukannya  Kalau  ia  telah
berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa  kecil,
kemudian   dari   perbuatan   makruh  dan  selanjutnya  dari
perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha,
yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya
yang lampau dan betul-betul tidak berbuat  dosa  lagi  walau
sekecil  apapun.  Jelaslah  bahwa  usaha  ini  memakan waktu
panjang.
 
Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu
zuhud.  Di  stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi
dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri  ke  tempat  terpencil
untuk   beribadat,  puasa,  shalat,  membaca  al-Qur'an  dan
dzikir. Puasanya yang banyak membuat  hawa  nafsunya  lemah,
dan  membuat  ia  tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum
hanya untuk  mempertahankan  kelanjutan  hidup.  Ia  sedikit
tidur  dan  banyak  beribadat.  Pakaiannyapun  sederhana. Ia
menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak  bisa  lagi
digoda  oleh  kesenangan  dunia  dan  kelezatan materi. Yang
dicarinya ialah kebahagiaan  rohani,  dan  itu  diperolehnya
dalam  berpuasa,  melakukan  shalat,  membaca  al-Qur'an dan
berdzikir.
 
Kalau  kesenangan  dunia  dan  kelezatan  materi  tak   bisa
menggodanya   lagi,  ia  keluar  dari  pengasingannya  masuk
kembali  ke  dunianya  semula.  Ia  terus  banyak  berpuasa,
melakukan  shalat,  membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga
akan selalu naik haji. Sampailah ia  ke  stasion  wara'.  Di
stasion  ini  ia  dijauhkan  Tuhan  dari perbuatan-perbuatan
syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut  bahwa  al-Muhasibi
menolak  makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr
al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah  makanan  yang
berisi syubhat.
 
Dari  stasion  wara',  ia pindah ke stasion faqr. Di stasion
ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan  hidupnya  hanya
sedikit  dan  ia  tidak  meminta  kecuali  hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.  Bahkan  ia  tidak
meminta  sungguhpun  ia  tidak  punya. Ia tidak meminta tapi
tidak menolak pemberian Tuhan.
 
Setelah menjalani  hidup  kefakiran  ia  sampai  ke  stasion
sabar.    Ia    sabar    bukan   hanya   dalam   menjalankan
perintah-perintah   Tuhan   yang    berat    dan    menjauhi
larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar
dalam menerima  percobaan-percobaan  berat  yang  ditimpakan
Tuhan  kepadanya.  Ia  bukan hanya tidak meminta pertolongan
dari  Tuhan,  bahkan  ia  tidak  menunggu-nunggu   datangnya
pertolongan. Ia sabar menderita.
 
Selanjutnya  ia  pindah  ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan
diri  sebulat-bulatnya  kepada  kehendak  Tuhan.  Ia   tidak
memikirkan  hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari
ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa
tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena
ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya.  Ia
bersikap seperti telah mati.
 
Dari  stasion  tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari
stasion ini ia tidak menentang percobaan dari  Tuhan  bahkan
ia  menerima  dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga
dan dijauhkan  dari  neraka.  Di  dalam  hatinya  tidak  ada
perasaan  benci,  yang  ada hanyalah perasaan senang. Ketika
malapetaka turun, hatinya  merasa  senang  dan  di  dalamnya
bergelora  rasa  cinta  kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat
sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat
Tuhan  dengan  hati  nurani untuk selanjutnya bersatu dengan
Tuhan.
 
Karena  stasion-stasion  tersebut  di  atas  baru  merupakan
tempat   penyucian  diri  bagi  orang  yang  memasuki  jalan
tasawuf, ia sebenarnya  belumlah  menjadi  sufi,  tapi  baru
menjadi  zahid  atau  calon  sufi.  Ia  menjadi sufi setelah
sampai    ke    stasion    berikutnya     dan     memperoleh
pengalaman-pengalaman tasawuf.
 
PENGALAMAN SUFI
 
Di masa awal perjalanannya,  calon  sufi  dalam  hubungannya
dengan  Tuhan  dipengaruhi  rasa  takut  atas dosa-dosa yang
dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah  menjadi  rasa
waswas  apakah  tobatnya  diterima  Tuhan  sehingga ia dapat
meneruskan perjalanannya mendekati  Tuhan.  Lambat  laun  ia
rasakan  bahwa  Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat
yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya.  Rasa  takut  hilang
dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada
stasion ridla,  rasa  cinta  kepada  Tuhan  bergelora  dalam
hatinya.  Maka  ia  pun  sampai  ke  stasion mahabbah, cinta
Ilahi.  Sufi  memberikan  arti  mahabbah  sebagai   berikut,
pertama,  memeluk  kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap
melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh  diri  kepada
Yang    Dikasihi.    Ketiga,    Mengosongkan    hati    dari
segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
 
Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan  dalam
al-Qur'an  terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan
kepada hamba dan cinta hamba  kepada  Tuhan.  Ayat  54  dari
surat  al-Maidah,  "Allah  akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat
30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu
cinta kepada  Tuhan,  maka  turutlah  Aku,  dan  Allah  akan
mencintai kamu."
 
Hadits  juga  menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut,
"Senantiasa  hamba-Ku  mendekatkan  diri  kepada-Ku  melalui
ibadat  sehingga  Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai,
Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."
 
Sufi yang masyhur dalam sejarah  tasawuf  dengan  pengalaman
cinta  adalah  seorang  wanita  bernama  Rabi'ah al-'Adawiah
(713-801 M) di Basrah.  Cintanya  yang  dalam  kepada  Tuhan
memalingkannya  dari  segala  yang  lain  dari  Tuhan. Dalam
doanya, ia tidak meminta  dijauhkan  dari  neraka  dan  pula
tidak  meminta  dimasukkan  ke  surga.  Yang ia pinta adalah
dekat kepada Tuhan.  Ia  mengatakan,  "Aku  mengabdi  kepada
Tuhan  bukan  karena  takut kepada neraka, bukan pula karena
ingin  masuk  surga,  tetapi  aku  mengabdi  karena  cintaku
kepada-Nya."  Ia  bermunajat,  "Tuhanku,  jika kupuja Engkau
karena takut kepada neraka, bakarlah mataku  karena  Engkau,
janganlah  sembunyikan  keindahan-Mu  yang  kekal  itu  dari
pandanganku."
 
Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku,  bintang  di
langit   telah   gemerlapan,   mata-mata  telah  bertiduran,
pintu-pintu  istana  telah  dikunci,  tiap   pecinta   telah
berduaan  dengan  yang dicintainya, dan inilah aku berada di
hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan  rasa  cemas
mengucapkan,  "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera
akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku
sehingga  aku  bahagia,  ataukah  Engkau  tolak sehingga aku
merasa  sedih.  Demi  keMahakuasaan-Mu  inilah   yang   akan
kulakukan  selama  Engkau  beri  hajat  kepadaku.  Sekiranya
Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak,
karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."
 
Pernah  pula  ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang
kukasihi.  Beri  ampunlah  pembuat  dosa  yang   datang   ke
hadiratMu,  Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau."  Begitu  penuh
hatinya  dengan  rasa  cinta  kepada  Tuhan, sehingga ketika
orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada  setan,  ia
menjawab,  "Cintaku  kepada  Tuhan  tidak meninggalkan ruang
kosong di dalam hatiku untuk benci setan."
 
Cinta  tulus  Rabi'ah  al-'Adawiah  kepada  Tuhan,  akhirnya
dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:
 
Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku
Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
 
Rabi'ah  al-'Adawiah,  telah  sampai  ke   stasion   sesudah
mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati
nuraninya. Ia telah sampai ke stasion  yang  menjadi  idaman
kaum  sufi.  Dengan  kata  lain,  Rabi'ah  al-'Adawiah telah
benar-benar menjadi sufi.
 
Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860
M).  Ma'rifah  adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan
ikhlas dan sungguh-sungguh  mencintai  Tuhan.  Karena  cinta
ikhlas  dan  suci  itulah  Tuhan  mengungkapkan  tabir  dari
pandangan sufi dan dengan  terbukanya  tabir  itu  sufi  pun
dapat  menerima  cahaya  yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun
melihat keindahan-Nya yang  abadi.  Ketika  Zunnun  ditanya,
bagaimana  ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat
dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena
Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."
 
Yang  dimaksud  Zunnun  ialah  bahwa  ia memperoleh ma'rifah
karena  kemurahan  hati   Tuhan.   Sekiranya   Tuhan   tidak
membukakan  tabir  dari  mata  hatinya,  ia tidak akan dapat
melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur  tasawuf,
sufi  berusaha  keras  mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan
menurunkan  rahmat-Nya  dari  atas.  Juga  dikatakan   bahwa
ma'rifah  datang  ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan
dari atas.
 
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai  alat  bukan  akal
yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang
berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya,  pertama,  daya
untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua,
daya untuk mencintai Tuhan yang  disebut  ruh.  Ketiga  daya
untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
 
Sirr  adalah  daya  terpeka  dari  kalbu dan daya ini keluar
setelah sufi  berhasil  menyucikan  jiwanya  sesuci-sucinya.
Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa  dibersihkan  dan  digosok  akan  mempunyai  daya
tangkap  yang  besar.  Demikian  juga  jiwa,  makin  lama ia
disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin
besar  daya  tangkapnya,  sehingga  akhirnya dapat menangkap
daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu  sufi  pun
bergemilang   dalam   cahaya   Tuhan   dan   dapat   melihat
rahasia-rahasia Tuhan.  Karena  itu  al-Ghazali  mengartikan
ma'rifat,  "Melihat  rahasia-rahasia  Tuhan  dan  mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
 
Kata ma'rifat  memang  mengandung  arti  pengetahuan.  Maka,
ma'rifat  dalam  tasawuf  berarti pengetahuan yang diperoleh
langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan  ini  disebut
ilm   ladunni.   Ma'rifah  berbeda  dengan  'ilm.  'Ilm  ini
diperoleh   melalui   akal.   Dalam   pendapat   al-Ghazali,
pengetahuan  yang  diperoleh  melalui kalbu, yaitu ma'rifah,
lebih benar dari pengetahuan yang  diperoleh  melalui  akal,
yaitu   'ilm.  Sebelum  menempuh  jalan  tasawuf  al-Ghazali
diserang penyakit syak. Tapi,  menurut  al-Ghazali,  setelah
mencapai  ma'rifah,  keyakinannya untuk memperoleh kebenaran
ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
 
Lebih  jauh  mengenai  ma'rifah  dalam   literatur   tasawuf
dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat
di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya  akan
tertutup  dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua,
ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi  melihat  ke  cermin  itu
yang  akan  dilihatnya  hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat
orang  'arif,  baik  sewaktu  tidur  maupun  sewaktu  bangun
hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk
materi, cahaya yang disinarkannya gelap.  Semua  orang  yang
memandangnya    akan   mati   karena   tak   tahan   melihat
kecemerlangan dan keindahannya.
 
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata
hatinya  akan  dipenuhi  kalbunya  dengan  rasa  cinta  yang
mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi  merasa
tidak  puas  dengan  stasion  ma'rifah saja. Ia ingin berada
lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami  persatuan
dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.
  
Pengalaman  ittihad   ini  ditonjolkan  oleh  Abu  Yazid  al
Bustami   (w.  874 M).  Ucapan-ucapan  yang  ditinggalkannya
menunjukkan  bahwa  untuk  mencapai ittihad diperlukan usaha
yang keras dan waktu yang lama.  Seseorang  pernah  bertanya
kepada   Abu  Yazid  tentang  perjuangannya  untuk  mencapai
ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu
telah  lebih  dari  tujuh  puluh  tahun. Ia ingin mengatakan
bahwa dalam usia tujuh puluh  tahunlah  ia  baru  sampai  ke
stasion ittihad.
 
Sebelum  sampai  ke  ittihad,  seorang  sufi  harus terlebih
dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana'
adalah  hancur  sedangkan  baqa'  berarti  tinggal.  Sesuatu
didalam diri sufi akan fana atau  hancur  dan  sesuatu  yang
lain   akan  baqa  atau  tinggal.  Dalam  literatur  tasawuf
disebutkan,  orang  yang  fana  dari  kejahatan  akan   baqa
(tinggal)  ilmu  dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat
akan baqa (tinggal) takwa dalam  dirinya.  Dengan  demikian,
yang  tinggal  dalam  dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu
hilang dari diri sufi dan  sesuatu  yang  lain  akan  timbul
sebagai  gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang
sifat buruk akan timbul  sifat  baik.  Hilang  maksiat  akan
timbul takwa.
 
Untuk   sampai   ke  ittihad,  sufi  harus  terlebih  dahulu
mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran
jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada,
tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi  terhadap
diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs
wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti  kesadaran  tentang  diri
sendiri  hancur  dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini
terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
 
Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui  Tuhan
melalui    diriku    hingga   aku   hancur,   kemudian   aku
mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup.  Sedangkan
mengenai  fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat
aku gila pada diriku hingga aku mati.  Kemudian  Ia  membuat
aku  gila  kepada  diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun
berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan  gila  pada
diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
 
Dalam  menjelaskan  pengertian  fana',  al-Qusyairi menulis,
"Fananya  seseorang  dari  dirinya  dan  dari  makhluk  lain
terjadi  dengan  hilangnya  kesadaran  tentang  dirinya  dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap  ada,  demikian  pula
makhluk  lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan
pada dirinya. Kesadaran sufi  tentang  dirinya  dan  makhluk
lain  lenyap  dan  pergi  ke dalam diri Tuhan dan terjadilah
ittihad."
 
Ketika sampai ke  ambang  pintu  ittihad  dari  sufi  keluar
ungkapan-ungkapan  ganjil  yang  dalam  istilah sufi disebut
syatahat (ucapan  teopatis).  Syatahat  yang  diucapkan  Abu
Yazid,  antara  lain,  sebagai  berikut, "Manusia tobat dari
dosanya, tetapi aku  tidak.  Aku  hanya  mengucapkan,  tiada
Tuhan selain Allah."
 
Abu  Yazid  tobat  dengan  lafadz  syahadat demikian, karena
lafadz itu menggambarkan Tuhan  masih  jauh  dari  sufi  dan
berada  di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat
Tuhan,  berhadapan  langsung  dengan  Tuhan  dan  mengatakan
kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.
 
Dia  juga  mengucapkan,  "Aku  tidak  heran  melihat cintaku
pada-Mu, karena aku hanyalah hamba  yang  hina.  Tetapi  aku
heran  melihat  cinta-Mu  padaku,  karena Engkau adalah Raja
Maha Kuasa."
 
Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam  Abu  Yazid
telah  dibalas  Tuhan.  Lalu,  dia  berkata lagi, "Aku tidak
meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
 
Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga  dari  Tuhan
dan  pula  tidak  meminta  dijauhkan  dari  neraka  dan yang
dikehendakinya hanyalah  berada  dekat  dan  bersatu  dengan
Tuhan.  Dalam  mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai
kepadaMu?"
 
Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah."  Akhirnya
Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana,  baqa'
dan ittihad.
 
Masalah ittihad, Abu Yazid  menggambarkan  dengan  kata-kata
berikut  ini,  "Pada  suatu  ketika  aku dinaikkan kehadirat
Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid,  makhluk-Ku  ingin  melihat
engkau.  Aku  menjawab,  kekasih-Ku,  aku  tak ingin melihat
mereka.  Tetapi  jika  itu  kehendak-Mu,  aku  tak   berdaya
menentang-Mu.  Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat aku,  mereka  akan  berkata,  telah  kami
lihat  Engkau.  Tetapi  yang  mereka lihat sebenarnya adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."
 
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa
ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan
perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia
tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari
kata-katanya, "Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu."  Permintaan
Abu   Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan,
sebagaimana  terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  "Abu
Yazid,  semuanya  kecuali  engkau adalah makhluk-Ku." Akupun
berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah
Engkau."
 
Dalam  literatur  tasawuf  disebut bahwa dalam ittihad, yang
satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku).
Hal  ini  juga  dialami  Abu  Yazid, seperti kelihatan dalam
ungkapan selanjutnya, "Dialog  pun  terputus,  kata  menjadi
satu,  bahkan  seluruhnya  menjadi satu. Maka Ia pun berkata
kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab  melalui  diri-Nya  "Hai
Aku."  Ia  berkata  kepadaku,  "Engkaulah  Yang  Satu."  Aku
menjawab, "Akulah  Yang  Satu."  Ia  berkata  lagi,  "Engkau
adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."
 
Yang  penting  diperhatikan  dalam  ungkapan  diatas  adalah
kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu
bihi).   Kata-kata  bihi  -melalui  diri-Nya-  menggambarkan
bersatunya Abu Yazid  dengan  Tuhan,  rohnya  telah  melebur
dalam  diri  Tuhan.  Ia  tidak  ada  lagi, yang ada hanyalah
Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang  Satu"  bukan  Abu
Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
 
Dalam  arti  serupa  inilah  harus  diartikan kata-kata yang
diucapkan lidah  sufi  ketika  berada  dalam  ittihad  yaitu
kata-kata  yang  pada  lahirnya  mengandung  pengakuan  sufi
seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu  Yazid,  seusai  sembahyang
subuh,  mengeluarkan  kata-kata,  "Maha  Suci Aku, Maha Suci
Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah.  Tiada  Allah  selain
Aku, maka sembahlah Aku."
 
Dalam  istilah  sufi,  kata-kata  tersebut  memang diucapkan
lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia  mengakui
dirinya  Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,
dan sebagaimana dilihat pada  permulaan  makalah  ini,  agar
dapat  dekat  kepada  Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari
dosa saja, tetapi juga  dari  syubhat.  Maka  dosa  terbesar
tersebut  diatas  akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan
tak dapat bersatu dengan Dia. Maka  dalam  pengertian  sufi,
kata-kata  diatas  betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan
kata lain, Tuhanlah  yang  mengaku  diri-Nya  Allah  melalui
lidah  Abu  Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain  Allah  Yang  Maha  Kuasa.  Di
dalam jubah ini tidak ada selain Allah."
 
Yang  mengucapkan  kata-kata  itu  memang  lidah  Abu Yazid,
tetapi itu tidak mengandung pengakuan  Abu  Yazid  bahwa  ia
adalah  Tuhan.  Itu  adalah  kata-kata  Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.
 
Sufi lain  yang  mengalami  persatuan  dengan  Tuhan  adalah
Husain  Ibn  Mansur  al-Hallaj  (858-922  M), yang berlainan
nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang  karena  dijatuhi
hukuman  bunuh,  mayatnya  dibakar  dan  debunya  dibuang ke
sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana  'l-Haqq"
(Akulah Yang Maha Benar).
 
Pengalaman  persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad,
tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk
bersatu   dengan  Tuhan,  al-Hallaj  mengalami  persatuannya
dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam  literatur  tasawuf  hulul
diartikan,  Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
bersemayam  didalamnya  dengan   sifat-sifat   ketuhanannya,
setelah  sifat-sifat  kemanusiaan  yang  ada dalam tubuh itu
dihancurkan.
 
Di sini terdapat juga konsep fana, yang  dialami  Abu  Yazid
dalam  ittihad  sebelum  tercapai  hulul. Menurut al-Hallaj,
manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut  (kemanusiaan)  dan
lahut  (ketuhanan).  Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat
dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut  (kemanusiaan).  Landasan
bahwa  Tuhan  dan  manusia sama-sama mempunyai sifat diambil
dari hadits yang menegaskan  bahwa  Tuhan  menciptakan  Adam
sesuai dengan bentuk-Nya.
 
Hadits  ini  mengandung  arti  bahwa  didalam  diri Adam ada
bentuk  Tuhan  dan  itulah  yang  disebut   lahut   manusia.
Sebaliknya  didalam  diri  Tuhan  terdapat  bentuk  Adam dan
itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada
syair al-Hallaj sebagai berikut:
 
Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
 
Dengan  membersihkan  diri  malalui   ibadat   yang   banyak
dilakukan,  nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan
ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam  diri  sufi
dan terjadilah hulul.
 
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
 
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.
 
 
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
 
Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
 
Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
 
Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah  lidah
al-Hallaj   mengucapkan,  "Ana  'l-Haqq" (Akulah  Yang  Maha
Benar).
 
Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak
mengandung  arti  pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan.
Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui
lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,
 
"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."
 
Syatahat atau kata-kata teofani  sufi  seperti  itu  membuat
kaum  syari'at  menuduh  sufi  telah menyeleweng dari ajaran
Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum
syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak
menangkap pengalaman  sufi  yang  mementingkan  hakekat  dan
tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada
Tuhan.
 
Dalam sejarah  Islam  memang  terkenal  adanya  pertentangan
keras  antara  kaum  syari'at  dan  kaum hakekat, gelar yang
diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda  setelah
al-Ghazali  datang  dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah
yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang  menyakinkan.
Al-Ghazali  menghalalkan  tasawuf  sampai  tingkat ma'rifah,
sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat  fana',  baqa,  dan
ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi
mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.
 
Kalau filsafat,setelah kritik  al-Ghazali  dalam  bukunya
Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam
Sunni, tasawuf  sebaliknya  banyak  diamalkan,  bahkan  oleh
Syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah
Pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang   dibawa
al-Bustami  dalam  ittihad  dan  al-Hallaj dalam hulul, Muhy
al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan  wujud
makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.
 
Lahut  dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang
berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam  pengalamannya,
tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan
esensi, disebut  al-haqq,  dan  aspek  luar  yang  merupakan
aksiden  disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya
berbeda, tetapi dalam aspek batinnya  satu,  yaitu  al-haqq.
Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
 
Tuhan,  sebagaimana  disebut dalam Hadits yang telah dikutip
pada permulaan, pada  awalnya  adalah  "harta"  tersembunyi,
kemudian  Ia  ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan
melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam  sebagai  makhluk,
adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai
cermin yang didalamnya terdapat gambar  Tuhan.  Dengan  kata
lain,  alam  adalah  bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud
alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud  alam  tergantung
pada  wujud  Tuhan.  Sebagai  bayangan,  wujud  alam bersatu
dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
 
Yang ada dalam alam  ini  kelihatannya  banyak  tetapi  pada
hakekatnya  satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang
melihat dirinya dalam beberapa  cermin  yang  diletakkan  di
sekelilingnya.  Di  dalam  tiap cermin, ia lihat dirinya. Di
dalam  cermin,  dirinya  kelihatan   banyak,   tetapi   pada
hakekatnya  dirinya  hanya  satu.  Yang lain dan yang banyak
adalah bayangannya.
 
Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran  wahdat
al-wujud  Ibn  Arabi  dengan panteisme dalam arti bahwa yang
disebut Tuhan adalah alam semesta.  Jelas  bahwa  Ibn  Arabi
tidak  mengidentikkan  alam  dengan  Tuhan.  Bagi Ibn Arabi,
sebagaimana halnya dengan sufi-sufi  lainnya,  Tuhan  adalah
transendental  dan  bukan  imanen.  Tuhan berada di luar dan
bukan di dalam alam. Alam hanya  merupakan  penampakan  diri
atau tajalli dari Tuhan.
 
Ajaran  wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya
membawa pada  ajaran  al-Insan  al-Kamil  yang  dikembangkan
terutama  oleh  Abd  al-Karim  al-Jilli  (1366-1428).  Dalam
pengalaman al-Jilli,  tajalli  atau  penampakan  diri  Tuhan
mengambil  tiga  tahap  tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan
Aniyah.
 
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru  keluar
dari  al-'ama,  kabut  kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada
tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih
dalam  bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan
diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada  makhluk-Nya.
Di   antara   semua   makhluk-Nya,   pada  diri  manusia  Ia
menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.
 
Sungguhpun manusia merupakan tajalli  atau  penampakan  diri
Tuhan  yang  paling  sempurna  diantara  semua  makhluk-Nya,
tajalli-Nya tidak sama pada  semua  manusia.  Tajalli  Tuhan
yang  sempurna  terdapat  dalam  Insan Kamil. Untuk mencapai
tingkat  Insan  Kamil,   sufi   mesti   mengadakan   taraqqi
(pendakian)  melalui  tiga  tingkatan: bidayah, tawassut dan
khitam.
 
Pada tingkat bidayah, sufi disinari  oleh  nama-nama  Tuhan,
dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan
diri dalam nama-nama-Nya, seperti  Pengasih,  Penyayang  dan
sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi
disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat
dll.   Dan  Tuhan  ber-tajalli  pada  sufi  demikian  dengan
sifat-sifat-Nya. Pada tingkat  khitam,  sufi  disinari  dzat
Tuhan  yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan
dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil.  Ia
menjadi  manusia  sempurna,  mempunyai  sifat  ketuhanan dan
dalam  dirinya  terdapat  bentuk  (shurah)   Allah.   Dialah
bayangan  Tuhan  yang  sempurna.  Dan  dialah  yang  menjadi
perantara antara manusia dan  Tuhan.  Insan  Kamil  terdapat
dalam  diri  para  Nabi  dan  para wali. Di antara semuanya,
Insan  Kamil  yang  tersempurna  terdapat  dalam  diri  Nabi
Muhammad.
 
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan
Tuhan akhirnya tercapai malalui  ittihad  serta  hulul  yang
mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan
dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti  penampakan
diri  atau  tajalli  Tuhan  yang  sempurna  dalam diri Insan
Kamil.
 
Sementara itu tasawuf pada masa  awal  sejarahnya  mengambil
bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk
oleh murid-murid atau  pengikut-pengikut  sufi  besar  untuk
melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar
yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul  pada
abad  ke-13  Masehi  untuk  melestarikan  ajaran Syekh Abdul
Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul  pada  abad
ke-14  bagi  pengikut  Bahauddin  Naqsyabandi  (w.  1415 M),
Syattariah, pengikut  Abdullah  Syattar  (w.  1415  M),  dan
Tijaniah   yang  muncul  pada  abad  ke-19  di  Marokko  dan
Aljazair.  Tarekat-tarekat  besar  lain  diantaranya  adalah
Bekhtasyiah  di  Turki,  Sanusiah  di  Libia,  Syadziliah di
Marokko, Mesir dan Suria,  Mawlawiah  (Jalaluddin  Rumi)  di
Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.
 
Dalam  tarekat,  ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang
diselewengkan,  sehingga  tarekat  menyimpang  dari   tujuan
sebenarnya  dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat
dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran  dasar
sufi  dan  syari'at  Islam,  sehingga timbullah pertentangan
antara kaum syari'at dan kaum tarekat.
 
Sementara itu ada pula tarekat  yang  menekankan  pentingnya
kehidupan  rohani  dan  mengabaikan  kehidupan  duniawi, dan
disamping  itu  menekankan  ajaran  tawakal  sufi,  sehingga
mengabaikan  usaha.  Dengan  kata  lain,  yang  dikembangkan
tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.
 
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20,  tarekat
mempunyai  pengaruh  besar  dalam  masyarakat  Islam. Karena
pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan
dari  masyarakat  menjadi  anggota tarekat. Di Turki Usmani,
tentara  menjadi  anggota  tarekat   Bekhtasyi   dan   dalam
perlawanan   mereka   terhadap   pembaharuan  yang  diadakan
sultan-sultan,  mereka  mendapat   sokongan   dari   tarekat
Bekhtasyi dan para ulama Turki.
 
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat
dan sikap tawakal berkembang di  kalangan  umat  Islam  yang
bekas-bekasnya  masih  ada  pada kita sampai sekarang. Untuk
itu tidak mengherankan kalau  pemimpin-pemimpin  pembaharuan
dalam  Islam  seperti  Jamaluddin  Afghani,  Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha dan terutama Kamal  Ataturk  memandang  tarekat
sebagai  salah  satu  faktor  yang membawa kepada kemunduran
umat Islam.
 
Dalam pada itu dunia dewasa ini  dilanda  oleh  materialisme
yang  menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak
orang mengatakan bahwa dalam  menghadapi  meterialisme  yang
melanda    dunia    sekarang,   perlu   dihidupkan   kembali
spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran  kerohanian  dan
akhlak  mulianya  dapat  memainkan  peranan  penting. Tetapi
untuk itu yang perlu  ditekankan  tarekat  dalam  diri  para
pengikutnya  adalah  penyucian  diri  dan pembentukan akhlak
mulia  disamping   kerohanian   dengan   tidak   mengabaikan
kehidupan keduniaan.
 
Pada  akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di
Barat  yang  bosan  hidup  kematerian  lalu  mencari   hidup
kerohanian  di  Timur.  Ada  yang  pergi ke kerohanian dalam
agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama  Hindu  dan  tak
sedikit  pula  yang  mengikuti kerohanian dalam agama Islam,
umpamanya aliran Subud di Jakarta.
 
Dalam hubungan itu kira-kira 30  tahun  lalu,  A.J.  Arberry
dalam  bukunya  Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim
adalah makhluk Tuhan yang satu.  Oleh  karena  itu  bukanlah
tidak  pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari
ajaran-ajaran sufi yang telah  meninggalkan  pengaruh  besar
dalam  kehidupan  umat  Islam  dan bersama-sama dengan orang
Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi  yang  akan  dapat
memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian
dan moral zaman yang penuh kegelapan dan  tantangan  seperti
sekarang.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd.,
   1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah
   al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris,
   Gallimard, 1964.