bekajar besama

bekajar besama

Selasa, 11 Januari 2011



aku ini angin kumbara
yang merindukan tempat-tempat penuh tantangan dan debaran jantung...aku ingin memicu ketakutanku, dan keberanianku dengan mengembara sampai ujung dunia......

Selasa, 04 Januari 2011

Tuhan tak butuh di Sembah Tapi manusia yang Butuh Tuhan

Tuhan Tidak Butuh di Sembah!


…jika surga dan neraka tak pernah ada..masih kau bersujud kepada-NYA…

Masih ingat lantunan bait lagu yang dinyanyikan penyanyi legendaris chrisye dan band dewa?. Lagu tersebut mengingatkan kepada seorang sufi besar generasi klasik seorang perempuan yang anggun jiwa dan perangainya Rabi’atul Adawiyah. Ia (rabi’ah) dalam literatur-literatur sufi di ceritakan pernah membawa-bawa obor ditangan kanannya dan wajan berisi air ditangan kirinya dalam kerumunan pasar, kemudian ditanya oleh seseorang hai A’dawiyah.. hendak kau apakan api dalam obor itu dan air dalam wajan yang kau bawa-bawa itu.., Rabi’ah menjawab obor ini akan kugunakan untuk membakar Surga yang diinginkan banyak orang dan akan kugunakan air ini untuk memadamkan Neraka yang banyak di takutkan orang.

Terlepas dari kebenaran cerita tersebut diatas ada hikmah yang dapat kita petik dari ceritera tersebut. Sebagai umat yang ber-Tuhan kita tentunya re-chek kembali ibadah yang telah kita kerjakan sehari-hari selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Benarkah ibadah yang telah sedang kita tunaikan ikhlas karena-NYA semata ataukah pamrih karena reward atau punishment-NYA?.

Di penjuru dunia khususnya di Indonesia setiap hari Jum’at seluruh masjid di padati jama’ah untuk menunaikan shalat jum’at. Hari minggu umat Kristiani dan Katholik memadati gereja-gereja untuk misa, begitupun agama lain budha, hindu dll.
Bahkan setiap subuh siraman rohani dihampir seluruh stasiun televisi dan radio senantiasa hadir menyambut pagi. Setiap tahun ratusan ribu warga indonesia dan jutaan manusia diseluruh dunia bertolak ke tanah arab mekkah untuk menunaikan salah satu dalam rukun Islam berhaji, dan setiap tahun umat kristiani diwajibkan puasa selama 40 hari, seluruh umat Islam yang memenuhi syarat pula diwajibkan untuk berpuasa selama bulan Ramadhan.

Secara fakta seharusnya umat beragama diindonesia dengan bertambah giatnya ibadah dapat merubah sikap semakin lebih dewasa dan bijak, jauh dari tindak asusila seperti yang kerap ditayangkan infotainment belakangan ini, tindak pidana ataupun perdata. Namun kenyataan yang kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri ataupun berita di media elektronik dan media massa, yang kita temukan lagi lagi berita asusila, tindak pidana dan perdata selalu hangat dan berganti-ganti pelaku. Apakah yang salah? Ajarannya kah yang disalahkan? Sebagaimana pemikir barat dieropa ketika melek huruf banyak menyalahkan gereja karena mengeksploitasi Tuhan demi kepentingan borjuasi elit Gereja?.

Kita tidak bisa berharap banyak dari penganjur-penganjur agama, karena bagaimana kita bisa mengambil contoh dari beliau-beliau yang menyuruh kita sederhana dan bersahaja tapi kita saksikan sendiri mobil mewah dan sepeda motor mahal jelas–jelas kategori non primer non sekunder parkir di rumah masing-masing. Bahkan untuk mendatangkan khotbah mereka-mereka pun harus menguras dalam-dalam kas rakyat. Lebih ironi lagi seorang spiritualis terkemuka di tanah air ini bahkan telah banyak menulis buku sampai kawan sendiri hendak menulis skripsi tentang pemikirannya (untungnya baru proposal sudah di tolak), terlibat dalam pencabulan sebagaimana diliput media. ampun…apa hendak dikata..

Pribadi kita kah? yang tidak bisa diatur, pemimpin kita kah yang tidak bisa memberikan teladan? ataukah sistem pemerintahan gado-gado? demi kerukunan antar suku bangsa dan ummat. Taman kanak-anak pun (meminjam istilah Gus Dur sewaktu menjadi Presiden) sudah tahu bahwa Politik kita harus diakui secara praktik lebih bisa beradaptasi dengan Machiavellian ketimbang Taimiyan (teori ibn Taimiya keadilan lebih utama dari status agama seorang pemimpin), hukum yang secara praktik lengket dengan mafia dan perdagangan maupun ekonomi yang lebih kompromi dengan kaum kapital.

Siapakah yang salah? atau sistem seperti apakah yang seharusnya membawa kita kepada kebajikan dan kearifan sebagaimana cita-cita Plato dan Al-Farabi.

Bila dihadapkan kepada situasi sulit untuk dipersalahkan, maka kita secara umum akan segera menangkap seekor kambing yang terdekat bila perlu milik tetangga sekalipun kita ambil untuk dijadikan tameng, tak perduli apakah itu teman karib, kerabat bahkan famili, jikalau diperlukan iman-pun bisa di gadai, karena kata Ustadz-ustadz nge-trend sekarang bisa ditebus lagi dengan tobat. Apa boleh buat daripada kebakaran jenggot… Yang penting selamat bung!
Wallahu a’lam bi shawab.

Solo, Gembongan 1 Maret 2010
Rev.Tunggulsari, 31 Juli 2010