bekajar besama

bekajar besama

Kamis, 31 Maret 2011

Teologi Islam Rasional dalam Pemikrian Harun Nasution

Teologi Islam Rasional
dalam Pemikrian Harun Nasution

Makalah ini untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Perkembangan Teologi Islam Modern (PTIM)
Dosen Pengampu: Drs. Suharjianto. M.Ag.










Oleh:







Presented by:

Ali Ardianto H 000 080 006





USHULUDDIN
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011
A. Pendahuluan

Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M).
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam zaman klasik. Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang sekular, maka dalam Islam zaman klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits (Harun, 1995, hal. 7).
Di zaman Klasik, Eropa sedang berada pada zaman pertengahan yang terbelakang. Tidak mengherankan kalau orang-orang Eropa dari Italia, Prancis, Inggris dan lain-lain datang ke Andalusia untuk mempelajari sains dan filsafat yang berkembanga dalam Islam. Kemudian mereka pulang ke tempat masing-masing membawa ilmu-ilmu yang mereka peroleh itu. Buku-buku ilmiah Islam mereka terjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Melalui mereka pemikiaran rasional Islam yang agamis itu beserta sains dan filsafatnya di bawa ke Eropa, tetapi disana mendapat tantangan dari pihak Gereja. Pertentangan itu membuat sains dan Filsafat melepaskan diri dari gereja dan pemikiran rasional di sana berkembang terlepas dari ikatan agama. Pemikiran rasional di Eropa pada zaman renaisans dan zaman modern kembali menjadi sekuler seperti zaman Yunani sebelumnya. Pemikiran rasional sekuler itu membawa kemajuan pesat dalam bidang filsafat, sains, dan teknologi di Eropa sebagaimana saat ini.
Sementara di dunia Islam zaman pertengahan berkembang pemikiran tradisional, menggantikan pemikiran rasional agamis yang ada sebelumnya. Dalam pemikiran tradisional ini, para ulama bukan hanya terikat pada Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga pada ajaran hasil ijtihad ulama klasik yang amat banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ruang lingkup pemikiran ulam zaman pertengahan sangat sempit. Mereka tidak punya kebebasan berpikir. Akibatnya sains dan Filsafat, bahkan juga ilmu-ilmu agama tidak berkembang.
Ketika umat Islam Timur Tengah menjalin kontak dengan barat pada abad ke 18 M. mereka amat terkejut melihat kemajuan Eropa. Mereka tidak menyangka bahwa Eropa yang belajar pada mereka pada abad ke 12 dan 13 M telah begitu maju.
Hal ini membuat ulama-ulama abad ke 19 merenungkan apa yang perlu mereka dilakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali seperti zaman Islam klasik dulu. Meka lahirlah tokoh pembaharuan di Mesir seperti Al-Thahtawi, Jamaluddin Al Afgani dan Muhammad Abduh. Di Turki ada Mehmet Shidik Rifat, Nemik Kamal dan Zia Gokalp. Di India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali. Pakistan ada Muhammad Iqbal. Semua pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketertinggalan umat Islam harus menghidupkan lagi pemikiran rasional agamis zaman klasik dengan perhatian yang besar pada sains dan teknologi.
Sejak abad kesembilan belas ini kembali tumbuh di dunia Islam pemikiran rasional yang agamis dengan perhatian pada filsafat, sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh perkembangan itu lebih maju lagi, lahir interpretasi rasional dan baru atas Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran tradisional Islam segera mendapat tantangan dari pemikiran rasional agamis ini.
Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur’an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.

B. Riwayat Hidup Harun Nasution

Harun Nasution lahir selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Ayah Harun juga seorang ulama yang menguasai kitab-kitab Jawi dan suka membaca kitab kuning berbahasa melayu. Sedangkan, ibunya seorang boru Mandailing Tapanuli, Maimunah keturunan seorang ulama, pernah bermukim di Mekkah, dan mengikuti beberapa kegiatan di masjidil haram. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama, keturunan orang terpandang, dan mempunyai strata ekonomi yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan.
Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya. Selama 7 tahun ia belajar di HIS dan tamat pada tahun 1934 ketika berumur 14 tahun. Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu pengetahuan alam dan sejarah.
Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modernis, Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional. Karena desakan orang tua kemudian ia meninggalkan MIK dan melanjudkan ke Saudi Arabia. Di negeri gurun pasir itu, Harun tidak lama dan memohon pada orang tuanya agar mengizinkannya pindah studi ke Mesir. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Kairo.
Pada usia 24 tahun beliau rnenikahi gadis Mesir, Sayedah. Pada saat itu pula Harun telah menyelesaikan studinya di Uninversitas Amerika di Cairo yang berhasil mendapatkan gelar B. A (serjana muda) tahun 1952. Pada 1953 Ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negeri bagian Timur Tengah. Tugas diplomatnya di luar negeri berlanjut kembali sejak ia bekerja di Kedutaan Republik Indonesia di Brussels mulai akhir Desember 1955.
Karena pengaruh komunis semakin kuat di Indonesia, Harun yang antikomunis memutuskan untuk keluar dari kedutaan. Untuk kedua kalinya, ia ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Harun memilih belajar di lembaga Ad-Dirasat al-Islamiyah (1960). Studinya di Mesir, lagi-lagi, tidak dapat diteruskan akibat kekurangan biaya. Ketika itulah ia menerima tawaran dari Prof Rasjidi -orang yang kemudian menjadi partner polemiknya di bidang pembaharuan dan pemikiran Islam- untuk menerima beasiswa dari Institute of Islamic Studies McGill, Montreal, Kanada. Pada 1965, Harun memperoleh gelar Magister dari Universitas tersebut dengan judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya: The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masjumi. Tiga tahun berikutnya (1968), Ia memperoleh gelar Doktor (PhD) dalam bidang studi Islam pada Universitas yang sama, dengan disertasi The Place of Reason in 'Abduh's Theology: Its Impact on His Theological System and Views. Setahun kemudian (1969), Ia kembali ke Indonesia. Berbagai jabatan pernah ia pegang, baik akademis maupun pemerintahan.

C. Pemikiran Harun Nasution
Dari segi pemikiran, gagasan Prof Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang paling menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Di kedua negeri inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh dan pembaru Muhammad Abduh, terutama sekali tentang paham Mu'tazilah yang banyak menganjurkan sikap-sikap qadariah. Di kemudian hari, Harun dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak memperhatikan pembaharuan dalam Islam, meliputi pemikiran teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih) saja, hingga masalah segi kehidupan kaum Muslim. Berikut pemikiran dan gagasan Harun Nasution terkait dengan term teologi rasional yang penulis nukil dari bukunya yang berjudul Islam Rasional dan dari berbagai sumber:

1. Teologi Islam dan Upaya Peningkatan Produktivitas
Dalam agama terdapat dua ajaran yang erat kaitannya dengan produktivitas. Pertama, agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat materialini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Bagaimana ajaran ini terhadap produktivitas dari penganut agama bersangkutan sangat bergantung dari kedua corak hidup tersebut. Apabila kehidupan duniawi dipandang penting, maka produktivitas akan meningkat. Tetapi, sebaliknya, kalau hidup akhirat yang diutamakan, produktivitas akan menurun.
Kedua agama memiliki ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, dalam arti bahwa perbuatam manusia adalah ciptaan Tuhan. Maka produktivitas masyarkat yang menganut paham keagamaan seperti demikian akan sangat rendah sekali. Tetapi dalam masyarkat yang menganut paham bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme (Jabariyah) dan paham kedua disebut Qodariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
Di dalam Al-Qur’andan hadis, hidup di dunia yang bersifat material dam hidup di akhirat yang bersifat spiritual sama pentingnya.
Carilah apa yang dianugerahkan Allah bagimu di akhirat dan jangan lupakan bagianmu di dunia.(QS 28:77)
Suatu doa yang diambil dari bunyi al-Qur’an berbunyi:
Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. (QS 2: 201).
Sebuah hadis menyatakan:
Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan berbuatlah untuk kahiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari.
Al-Qur’an sendiri mengandung ajaran-ajaran yang dapat melahirkan baik filsafat fatalism (Jabariyah) maupun Qodariyyah. Yang dapat membawa orang pada faham fatalisme dapat ditemukan misalnya pada ayat-ayat berikut:
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. (QS 57:22).
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS 8: 17)
Sementara itu yang dapat membawa orang pada paham Qodariyah, dapat dilihat misal dalam ayat berikut:
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir" (QS 18:29).
Pada sejarah Islam, yang bisanya dibagi ke dalam tiga periode yakni periode Klasik (650-1250 M) Periode pertengahan (1250-1800) dan Periode Modern (1800-seterusnya). Kedua macam ajaran pernah mempengaruhi Islam untuk masa tertentu. Sebagaimana telah penulis jelaskan secara singkat di atas.

a. Periode Klasik
Pada Periode Klasik bekembang teologi sunnatullah. Sunnatullah adalah hukum alam, yang di barat disebut dengan natural laws. Bedanya natural laws adalah ciptaan alam, sedangkan sunnatullah adalah ciptaan Tuhan.
Ciri-ciri Teologi Sunnatullah adalah:
1. Kedudukan akal yang tinggi.
2. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar Al-Qur’an dan hadis yang sedikit sekali jumlahnya.
4. Percaya adanya sunnatullah dan kausalitas
5. Mengambil arti metamorphosis dari teks wahyu
6. Dinamika dalam sikap dan berfikir.
Ulama Periode Klasik itu memakai metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis. Dan yang cocok dengan metode berfikir ini adalah filsafat Qodariyah, yang menggambarkan kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Oleh kerena itu sikap umat Islam zaman itu adalah dinamis, orietasi dunia mereka tidak dikalahkan oleh orientasi akhirat. Keduanya berjalan berimbang. Tidak mengherankan kalau pada periode klasik itu, soal dunia dan akhirat sama-sama dipentingkan, dan produktifitas meningkat pesat.
Sekiranya ulama Islam pada zaman klasik itu hanya berorientasi pada akhirat saja, tanpa orietasi dunia, dan memakai filsafat fatalisme (Jabariyah), kemajuan dalam berbagai bidang tidak akan tercapai.
Teologi sunnatullah dengan filsafat Qodariyahnya serta orientasi duniawi disamping akhirat, juga membuat umat Islam produktif dalam bidang ekonomi dan peradaban pada zaman klasik tersebut. Mesir, Suriah, Irak dan Persia pada waktu itu menjadi pusat perdangangan di Timur Tengah. Kemajuan juga ada dalam bidang pertanian.
Pada periode klasik ini, dalam bidang sains juga mengalami kemajuan yang pesat. Ilmu kedokteran, Kimia, Matematika, Astronomi dan ilmu-ilmu lain. Ulama-ulama klasik bukan hanya produktif dalam soal keduniaan. Sejalan dengan sikap tidak meninggalkan hidup spiritual, ilmu agama juga berkembang pada zaman itu, seperti Ilmu Tafsir, Fiqih, Akidah, Tasawuf dan lan-lain.
Demikianlah teologi sunnatullah zaman klasik dengan pemikiran rasional agamais, filosofis dan ilmiahnya, yang membuat ulama dan umat Islam produktif dalam hidup keduniawian di bidang politik, ekonomi, industry, pertanian, sains. Juga produktif dalam bidang hidup keakhiratan di bidang akidah, teologi, tafsir, filsafat, tasawuf dan lain-lain.

b. Periode Pertengahan
Teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah zaman klasik tidak dapat dipertahankan oleh umat Islam dan gantikan oleh teologi kehendak mutlak Tuhan (Jabariyah atau Fatalisme) yang besar pegaruhnya bagi umat Islam di dunia, mulai dari pertengahan abad 12 sampai zaman kita sekarang ini.
Ciri-ciri teologi fatalisme itu adalah:
1. Kedudukan akal yang rendah
2. Ketidak bebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
3. Kebebasan berpikir yang diikat banyak dogma.
4. Ketidak percayaan pada sunnatullah dan kausalitas.
5. Terikat pada arti tekstual dariAL-Quaran dan Hadis
6. Statis dalam sikap dan berfikir.
Sikap-sikap yang dimiliki oleh orang-orang berteologi fatalisme itu mempengaruhi umat secara umum. Di kalangan mereka terdapat sikap lebih mementingkan hidup spiritual dan sikap tawakal serta menunggu dengan sabar datangnya rahmat Tuhan. Sikap ini di kalangan awam di perkuat lagi oleh paham fatalisme dengan teologi kehendak mutlak Tuhan. Akibatnya berbagai sektor yang sebelumnya sangat maju pada periode klasik menjadi sangat mundur. Produktifitas ulama dan umat Islam periode pertengahan statis jalan ditempat.

c. Periode Modern
Abad ke 19, dimana orang Eropa yang dahulu mundur sekarang terlah maju itu, datang ke Dunia Islam. Dunia Islam terkejut dan tidak menyangka bahwa Eropa yang telahmereka kalahkan pada Periode Klasik dahulu, pada zaman modern menguasai mereka. Kerajaan turki utsmani, adikuasa pada zaman pertengahan mulai mengalami kekalahan-kekalahan dalam peperangannnya di Eropa. Napoleon Bonaparte dalam waktu tiga minggu mampu menguasai seluruh Mesir pada 1798 M. Inggris memasuki India dan menghancurkan kerajaan Mughal pada 1857 M.
Hal ini membuat ulama-ulama abad ke 19 merenungkan apa yang perlu mereka dilakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali seperti zaman Islam klasik dulu. Maka lahirlah tokoh pembaharuan di Mesir seperti Al-Thahtawi, Jamaluddin Al Afgani dan Muhammad Abduh. Di Turki ada Mehmet Shidik Rifat, Nemik Kamal dan Zia Gokalp. Di India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali. Pakistan ada Muhammad Iqbal. Semua pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketertinggalan umat Islam harus menghidupkan lagi pemikiran rasional agamis zaman klasik dengan perhatian yang besar pada sains dan teknologi.
Mulailah abad ke 19 didirikan sekolah-sekolah model barat di Mesir, Turki dan India. Disini di ajarkan metode berfikir rasional, filosofis dan Ilmiah. Sains di sekolah-sekolah ini sangat dipentingkan, sehingga timbullah di dunia Islam golongan terpelajar barat di samping ulama-ulama lulusan sekolah agama. Inilah keadaan umat Islam zaman modern di timur tengah. Adapaun di Indonesia keadaanya berbeda. Islam mungkin telah datang ke Indonesia pada abad-abad pertama Hijriah, yaitu abad ke 7 dan 8 M. tetapibaru berkembang pada abad ke 13 M. dengan kata lain, bersamaan dengan pada periode pertengahan Islam. Maka yang berkembang bukanlan permikiran terologi sunnatullah zaman klasik. Tetapi teologi kehedak mutlak Tuhan (Jabariyah) dengan pemikiran tradisional, nonfilosofis, dan nonilmiahnya.
Teologi ini sangat besar pengaruhnya terhadap umat Islam di Indonesia sejak semula. Banyak umat Islam indoensia yang sangat percaya bahwa nasib secara mutlak terletak di tangan Tuhan. Manusia tak berdaya dan hanya menyerah kepada qadha dan qadar Tuhan.
Sekolah-sekolah model barat, seperti halnya di Dunia Islam timur tengah, juga telah berkembang di Indonesia, meskipun seabad lebih terlambat, yaitu abad 20 M. Pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah ini masuk pula ke dalam masyarakat Indonesia. Tetapi, pemikiran ini tidak menimbulkan teologi sunnatullah di Indonesia, kecuali di kalangan kecil umat. Kaum terpelajar yang berpendidikan barat sendiri, masih banyak dipengaruhi paham qodha dan qodar, dan kelihatannya kurang mantap dengan pendapat adanya sunnatullah atau hokum alam, ciptaan Tuhan,dan kausalistik. Kaum terpelajar kelihatannya terombang-ambing antara keyakinan kepada qadha dan qodar yang diperoleh dari pendidikan agama dan pengalaman sunnatullah yang diperoleh dari pendidikan model barat. Kaum terpelajar masih belum yakin bahwa kesuksesan dan ketidaksuksesan dalam usaha, tergantung pada ikhtiarnya. Tapi mereka merasa bahwa qadha dan qodar Tuhan mempunyai peran di dalamnya.
Pada saat yang sama kaum terpelajar agama yang dikenal dengan nama ulama tidak kenal dengan teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya. Yang mereka kenal sejak semula adalah teologi tradisional. Sejarah perkembangan pemikiran Islam tidak diajrakan baik di madarasah maupun pesantren. Mereka memandang teologi sunnatullah tidaklah Islami. Yang berkembang di Indonesia sampai dewasa ini adalah kehendak mutlak Tuhan dengan qodha dan qodar-nya yang menyokong bagi peningkatan produktifitas. Juga tradisi tarekat berkembang subur di Indonesia yang mengajarkan orientasi pada keakhiratan mengakibatkan orang hanya berorientasi pada kepentingan akhirat saja.
Oleh kerena itu, kalau produktifitas di kalangan umat Islam di Indoensia kurang meningkat, padangan keagamaan itulah (teologi kehendak mutlak Tuhan dengan paham qadha dan qodar-Nya dan orientasi kehidupan keakhirantan) yang antara lain menjadi penyebabnya.
Untuk meningkatkan produktifitas itu, teologi sunatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya perlu dikembangkan di kalangan umat Islam di Indonesia, sebagai pengganti teologi fatalisme. Sementara itu perlu juga dikembangkan keseimbangan antara orientasi spiritual dan orientasi keduniaan.
Dalam hal ini, ada dua obsesi Harun yang paling menonjol.
Pertama, bagaimana membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas. Kedua, terkait dengan yang pertama, bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapasitas manusia qadariah.
Harun sering menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah akibat dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah (terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, dalam berbagai tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan Al-Quran yang demikian penting dan bebas. Harun memang sangat tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis cosmopolitan (Barat). Tapi, sesungguhnya hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad pertengahan. Penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran para filusuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia Tasawuf, membuat Ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri.
Semua itu dia buktikan dengan mewujudkan tiga langkah, yang kerap disebut sebagai ''Gebrakan Harun''.
1. Gebrakan pertama, dia meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya, dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis mutawatir berada dalam kelompok ini. Kedua, bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini. Dalam ajaran Islam, lanjutnya seperti ditulis dalam Islam Rasional (Mizan), yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif dan bisa direformasi. Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama, semakin lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya. Kenyataannya, kata Harun, jumlah pertama sedikit.
2. Gebrakan kedua dilakukan saat dia menjabat rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1973 (kini Universitas Islam negeri/UIN). Saat itu, secara revolusioner dia merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia. Pengantar ilmu agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, dan metodologi riset. Menurut dia, kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi fikih harus diubah karena hal itu membuat pikiran mahasiswa jumud.
3. Gebrakan ketiga, bersama menteri agama, Harun mengusahakan berdirinya Fakultas Pascasarjana pada 1982. Menurutnya, di Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan pimpinan umat Islam masa depan. Baginya pimpinan harus rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang ilmu agama, dan menguasai filsafat. Filsafat, ujarnya, sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu secara umum. Pimpinan seperti itulah yang diharapkannya lahir dari Fakultas Pascasarjana. Dampak dari usaha Harun sungguh luar biasa. Ciputat jadi hidup.

Berbagai gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi rasionalitas dan metode ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai pelopor gerakan Mu'tazilah dan salah seorang penyokong sekularisme di Indonesia. Ini jelas terlihat dari karyanya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Toh demikian, Harun tetap melaju membumikan Islam. Menurut Nurcholish Madjid, Harun telah memberikan sumbangan nyata bagi bangsa Indonesia dalam hal menumbuhkan ''tradisi intelektual'' yang dirintis di IAIN Jakarta, dan kemudian menghasilkan suatu gejala umum bahwa doktrin bukan sebagai taken for granted, justru di saat doktrin itu sudah mapan. Dia mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan suatu kemampuan tertentu yang secara teknis disebut learning capacity. Menurut Cak Nur, Ia telah berhasil menciptakan intellectual capacity sekaligus learning capacity.
Pola pemikiran Harun, dalam pandangan Cak Nur, sangat Abduhis. Etos atau penghargaannya terhadap Muhammad Abduh sangat tinggi. Obsesi Harun kepada Mu'tazilah mempunyai relevansi terhadap dua hal. Pertama, rasionalitas, sebab dampak dari etos kerasionalan itu ialah pembukaan yang mempunyai efek pembebasan. Kedua, pengakuan atas kapasitas manusia qadariah. Kemunduran kaum Muslim, kata Harun, salah satunya lantaran dominasi Asy'ariyah yang Jabbari. Betapapun, Harun telah menanamkan fondasi Islam modern Indonesia. Perjuangan panjangnya itu berakhir pada 18 September 1998, ketika Sang Khaliq memanggilnya untuk selama-lamanya. Kini, persis 5 tahun wafatnya, Harun seakan terus 'hidup' melalui gagasan dan pemikirannya.



Sumber bacaan:
1. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, 1996, Mizan. Jakarta.
2. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’atazillah, 1987, UI Press, Jakarta.
3. Sumber-sumber artikel di internet.

Tidak ada komentar: