bekajar besama

bekajar besama

Rabu, 22 Desember 2010


Pelangi di Ujung Senja


Jika dapat diibaratkan aku menganggap hidup ini seumpama roket yang meluncur dengan jalur serta rute yang telah ditentukan. Garis-garis lintasan telah digoreskan secara maya di hamparan jagat semesta, dimana bahan bakar dari roket kehidupan ini adalah berasal dari dorongan energi konstruktif yang terus menerus mengangkut roket kehidupan meluncur menuju suatu tempat apa yang disebut dengan tujuan hidup. Sedangkan rintangan dan hambatan yang harus dihadapai oleh roket kehidupan adalah sebuah energi destruktif yang mencoba merusak dan menghambat laju roket dari luar dan maupun dalam. Dorongan energi yang paling kuat akan muncul sebagai bakat, talenta, minat dan hobi kita yang paling menonjol. Akibatnya seseorang yang dimotori oleh energi bermuatan positif akan membawa roket kehidupannya menuju galaksi kehidupan yang bergemilang cahaya.
Samar matahari sore menembus jendela kaca rumahku, membentuk garis-garis sinar dengan partikel-partikel kecil yang berterbangan. Indah seperti sekumpulan kunang-kunang yang berhamburan di malam bulan desember. Aku hanya bisa menerawang jauh, menikmati pemandangan kota tua di ujung langit senja. Rintik gerimis sisa hujan masih menetes kecil-kecil ke bumi. Dan di timur kaki langit senja, gradasi warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu membentuk warna-warna yang begitu harmoni. Warna pelangi selalu indah, warna itu menunjukkan keseimbangan, ketenangan, kedamaian dan optimisme. Di sore yang syahdu itu aku duduk di ruang tamu memangku sebuah album abu-abu yang kusam dihinggapi debu. Pikiranku menerawang jauh melintasi lorong-lorong waktu yang telah lama menjadi kenangan masa lalu.
Jika saja ayah masih ada, pasti beliau akan tersenyum duduk di kursi bambunya sambil mengangkat kedua jempolnya. Karena inilah sebenarnya yang selalu beliau pesankan kepadaku dan Nia. Entah...!! padahal rasanya baru kemarin ayah mengantar aku berangkat sekolah di SD 01 Muhammadiyah, Muara Padang. Aku masih ingat sekali wangi baju safari coklat yang selalu beliau kenakan setiap ada acara yang dianggap penting. Dan yang kuketahui hanya ada dua acara penting bagi ayah. Yang pertama mengantar aku mendaftar sekolah dan yang kedua adalah mengambilkan buku raportku dan juga punya Nia. Maka pada hari-hari itulah ayah akan mengenakan baju safari coklat dengan motif burung merak dan setelan celana panjang hitam dari kain satin yang menurut cerita ibu pakaian itulah yang dikenakan ayah saat menikahi ibu.
Aku juga masih ingat dengan jelas, saat aku diboncengkan di belakang sepeda shanghai kesayangan ayah. Satu hari sebelum aku masuk sekolahpun ayah mengajakku keliling kampung karena saking senang anak sulungnya akan sekolah. Aku tahu sepeda shanghai itu adalah sepeda tua dan butut pula. Sedel asli sepeda itu telah patah, tapi berkat kekreatifan ayah maka kayu akasia pun bisa berpindah menjadi sedel, begitu juga dengan pedal sepeda itu juga dari kayu akasia. Sementara untuk menghindari cipratan kotoran air jalanan, ayah menyulap ban truk bekas menjadi selebor sehingga dapat pula difungsikan sebagai rem bila diinjak.
Wajah ayahku berseri-seri pagi itu. Di sepanjang jalan tanah liat yang becek dan berlumpur itu beliau banyak bercerita kepadaku tentang keteladanan sekawanan burung prenjak yang menjadi kawan petani dalam menumpas hama. Beliau juga selalu berpesan kepadaku bahkan telah berulang-ulang kali kudengar. Tapi beliau tetap menyampaikan pesan itu: Betapa bahagianya hati kita ketika kita bisa berguna dan meringankan beban orang lain...!! aku tak bergeming dengan nasihat-nasihat ayahku karena barangkali aku telah bosan mendengarnya bepuluh-puluh kali. Tapi kini ayah memberi motivasi pada diriku yang sejak tadi diam tak menentu. Sepertinya ayah tahu kalau jantungku berdetak keluar dari jalurnya, hatiku begitu resah, perasaan senang, takut, cemas, khawatir berbaur menjadi satu. Karena ini adalah hari pertama aku masuk sekolah.
“Ayah tak pernah menuntut kamu untuk harus mendapat peringakat satu, tapi ayah ingin kamu anak sulung ayah tumbuh menjadi dirimu sendiri, dengan penampilan terbaik yang kamu miliki...!!” begitu pesan ayahku yang masih kuingat pagi itu.
“Jangan pernah engkau menagis karena perasaan takut, tapi menangis dan menyesallah jika kamu bersalah. Belajarlah untuk menjadi berani dengan kebenaran di tanganmu...!!”
Dua kata itulah yang selalu terngiang-ngiang di ingatanku yang diucapkan terakhir ayah saat beliau melepaskan genggaman tangannya dari jemari-jemari kecilku dan meninggalkan aku sendiri di ruang sempit ukuran 4 x 3 meter SD 01 Muhammadiyah, Muara Padang. Aku ingat bagaimana ayah mengajarkan aku tentang arti hidup, ayah tak pernah mengekangku, ayah tak pernah memaksaku untuk sama seperti pilihannya, ayah juga tak pernah memarahiku. Ayah membiarkanku tumbuh dan mekar sebagai diriku sendiri dan beliaulah selalu menjaganya. Didikan seperti itulah yang mungkin membuat aku bisa menjadi perempuan seperti sekarang. Semoga saja aku benar-benar tumbuh seperti apa yang diharapkan ayah...!!
Hingga tiba saat itu, saat terberat dan memilukan dalam hidupku, Nia dan Ibuku. Rasa-rasanya aku tak mampu membayangkan masa pahit itu. Seolah aku tak percaya dengan semua yang telah terjadi. Ayah yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga kami mengalami kecelakaan di jalan raya Jendral Sudirman tepat di depan pasar Cinde Palembang. Becak yang dikemudikannya ditabrak mobil sedan hitam yang dikendarai oleh gerombolan anak muda yang mabuk berat. Ayahku terpelanting dari becaknya hingga belasan meter dan akhirnya terseret di keranjang mobil pengangkut sayur. Tak ada satupun orang yang sempat membawa ayah ke rumah sakit. Karena ayahku telah menghembuskan nafas terkahirnya di tempat itu juga, malaikat izroil menjemputnya tepat sehabis beliau sholat dhuhur. Sementara mobil sedan hitam yang menabrak itu melarikan diri dan tak pernah kembali. Jasad ayahku dititipkan di rumah Wak Peneng juragan becak ayahku, sebelum aku dan ibu menjemput jasad ayah ke palembang dengan uang hasil menjual almari di rumah. Sementara Nia dititipkan ibu di rumah Bibi Ijah tetangga kami yang baik hati itu, aku akan mengingat selamanya. Nia terlalu kecil untuk menyaksikan semua ini, waktu itu dia baru berumur 6 tahun, baru saja ayah mendaftarkannya masuk Sekolah Dasar 01 Muhammadiyah Muara Padang. Sedangkan aku waktu itu telah duduk di kelas 4 SD.
Keteguhan hati ibuku sungguh tiada tandingannya di dunia ini. Sungguh luar biasa, ibu tak meneteskan air mata sedikitpun di depan jasad suami yang dicintainya. Barangkali beliau tak ingin memperlihatkan kelemahan hati dan kesedihannya kepadaku, agar akupun menjadi kuat. Meski waktu itu aku telah mampu menalar, wanita mana di belahan dunia ini yang mampu menahan kesedihan menyaksikan jasad suami tercinta yang menjadi tulang punggung keluarga telah tak bernyawa di dalam pelukannya. Tapi, ibuku memang bukan wanita biasa, ibuku bukan seperti wanita pada umumnya.
Aku dan ibuku sendiri yang membawa jasad ayah pulang ke Muara Padang. Di sepanjang jalan di atas speed boat yang menyusuri lika-liku sungai Lematang menuju kampung kami. Aku dan ibulah yang memangku ayah. Aneh sekali, ketika kulihat jasad ayahku. Tak ada sedikitpun luka di badannya, tapi barangkali ayah mengalami luka dalam. Dan demi Allah kusaksikan dengan mata kelapaku sendiri, wajah ayah tak pucat seperti mayat pada umumnya, dan wajah beliau seolah tersenyum. Mayat ayahku pun anehnya tetap segar dan tak kaku padahal telah menginap satu malam di rumah Wak Paneng. Akupun seperti ibu, tak kuteteskan air mataku sedikitpun. Aku belajar menjadi perempuan kuat seperti apa yang selalu dinasihatkan ayah kepadaku. Dan itulah barangkali yang diinginkan ayah, aku tumbuh menjadi perempuan yang tangguh, pantang menyerah pada keadaan apapun. Dan ini pulalah yang diajarkan Ibu kepada aku dan Nia. Semangat hidup ayahku sepenuhnya kuhujamkan ke dalam sanubariku. Kepolosan, kesederhanaan dan ketulusannya dalam berbagi dengan sesama selalu kupatri di dalam hatiku. Aku tak pernah merasa bahawa ayahku menginggal. Karena semangat hidup dan ketulusan beliau selalu hidup di dalam hati dan hari-hariku...
Semenjak ayah tiada, Ibuku jadi berbeda dan sedikit aneh. Beliau jadi jarang berbicara pada kami jika itu tidak penting. Beliau juga mendidik kami dengan lebih keras. Barangkali agar mental kami lebih kuat dalam menghadapi realita kehidupan yang sering menjadi mahluk kejam. Ibuku menjadi kepala keluarga yang tak punya pilihan lain untuk mencari penghidupan. Beliau kerja keras banting tulang siang dan malam untuk mencarikan sesuap nasi pengganjal perut anak-anaknya serta agar kami tetap bisa melanjutkan sekolah. Pada siang hari beliau menjadi buruh cuci ke rumah-rumah juragan kopra, dan pada malam harinya beliau menjahit pakaian untuk disetorkan ke pasar pada esok harinya. Bila jahitan sepi, terkadang ibu menjadi tenaga serabutan di perusahan kopra. Sedikit sekali waktu beliau untuk bersenda gurau bersama kami berdua. Seperti kataku tadi, beliau tak bicara bila itu tak penting.
Sementara aku, sebagai anak sulung, haram jika hanya berdiam diri melihat perjuangan ibuku seperti itu. Ibu mengajariku berjualan gorengan keliling kampung berjalan kaki sambil menuju sekolahku. Aku dan ibu sendiri yang menggoreng makanan itu. Ada ubi goreng, tempe goreng, tahu goreng dan juga bakwan. Kami menggorengnya setiap pukul 04.00 pagi dan akan kubawa keliling setelah aku lengkap berseragam putih merah pukul lima pagi. Satu setengah jam aku keliling kampung ditemani Nia, sebelum akhirya pukul 06.30 kami sampai di sekolah. Nia terkadang sering tertidur di teras rumah pembeli saat aku melayani gorengan. Aku tahu nia terlalu kecapekan karena sering tidur malam dan ikut keliling pada pukul lima, berjalan kaki menyusuri rumah demi rumah menuju sekolah kami sejauh 10 km. Sebenarnya aku kasihan pada Nia, pada usia sekecil itu dia harus ikut menanggung beban keluarga. Terkadang aku menggendongnnya di punggungku saat pulang sekolah sampai dia tertidur di pundakku. Tapi yang kutanamkan pada Nia, jangan pernah kita kasihan pada keadaan, apalagi kompromi dengan kemiskinan. Bukankah nabi Muhammad pro terhadap orang-orang miskin tapi menanamkan anti kemiskinan...!! sebab ayahku peranah berpesan.
“Siapa bersungguh-sungguh pasti dia akan berhasil, pasti Tuhan akan membukakan jalan untuknya...!!”
Maka aku tak pernah kenal dan kompromi dengan segala kemalasan. Bukankah ada hadits qutsi Tuhan mengatakan: “Aku itu seperti persangkaan hambaku.” bila kita berprasangka baik kepada Tuhan maka kebaikanlah yang akan terjadi. Bila kita bercita-cita tinggi dan bersungguh-sungguh dengan cita-cita itu. Dengan kehendak Tuhan cita-cita itu pasti tercapai. Bukankah Tuhan itu Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Maka pasti Tuhan akan menggabulkan permintaan hambanya yang bersungguh-sungguh tersebut. Aku yakin itu...
Terkadang aku sering menjadi bahan ejekkan teman-teman di sekolah, mereka menjulukiku gadis ubi goreng, atau terkadang mereka memanggilku gadis tempe goreng. Aku tak pernah perduli dan tak menghiraukan apa ejekan mereka, karena aku tahu, teman-temanku tak tahu apa yang kurasakan. Dan merekapun hanya bercanda. Tapi yang tak pernah aku bisa teriama, ketika Nia diejek hingga menangis, maka pada saat itu juga kudatangi Malik anak kelas 5 yang badungnya minta ampun itu. Kutamparkan tanganku ke mulutnya. Hingga dia kapok dan terbirit-birit minta maaf pada Nia, meski pada akhirnya aku menyesal dan minta maaf juga karena telah menamparnya. Sepulang dari sekolah aku dan Nia selalu mengulang semua pelajaran yang diterangkaan oleh guru di sekolah. Dan pada malamnya aku membantu ibuku menjahit pakaian untuk disetorkan ke pasar esok hari. Begitulah hari-hari yang kulalui. Terkadang aku sering tertidur di atas meja jahit. Karena ibu menjatahku untuk membantu sampai jam 11.00 malam. Maka setelah itu aku tidur diatas ranjang bambu di kamar bersama Nia.
Ketika aku belum bisa tidur, terkadang aku merenung sendiri di dalam kamar dengan ditemani temarai lampu tempel yang kian malam kian redup. Aku merenungkan tentang nasibku, adikku dan juga Ibukku. Kurasakan ibuku semakin jauh berbeda dengan ibuku yang dulu, saat ayah masih ada. Aku merasa Ibuku yang sekarang tak pernah mencurahkan kasih sayangnya pada kami berdua lagi. Ibu kini seperti perempuna militer, seperti mesin yang manghabiskan waktu dengan bekerja dan bekerja. Tapi Masyaallah, sungguh, pikiran kurang ajar dan prasangka buruk itu segera ditampik oleh Allah Yang Maha Mengetahui segala isi hati setiap manusia. Waktu itu pukul 02.00 malam, suasana hening rumah kami tak pernah berubah, hanya beberapa lampu tempel yang masih menyala lirih. Aku bermaksud pergi ke kamar kecil yang berada di belakang dekat dapur. Sewaktu aku melintasi ruang kamar Ibu, kulihat pintu kamarnya terbuka barangkali sekitar 30 cm. Sewaktu kuarahkan pandanganku keadalamnya, kusaksikan sesosok serba putih sedang bersujud di lantai. Dengan khusuk ibuku mengerjakan sholat tahajjud. Dan lama sekali beliau bersujud di atas sajadah birunya yang sudah kusam itu karena memang sajadah itu telah tua seiring seusia ibuku. Tanpa kusadari aku terus mengawasi ibu dari samping pintu. Sampai beliau menyelesaikan rakaat terakhirnya dan mengucapkan salam, aku masih berdiri di samping pintu. Ibu tak pernah menyadari keberadaanku di samping pintu kamarnya. Dilantunkannya zikir-zikir dan kalimat-kalimat toyyibah dengan samar-samar, suara keikhlsannya lirih merambati dinding dan langit-langit rumah reot kami. Suara itu hangat menghiasi cuaca dingin malam itu. Hatiku tertunduk pilu ketika kudengarkan lantunan ayat-ayat doa dari bibir ibuku. Ibu berdoa dengan hatinya sampai tanpa ia sadari meneteslah air mata, mata tuanya yang telah lelah karna seharian memandangi lubang jarum. Suaranya menjadi parau ketika ibu menyebut nama suaminya dalam doa, dan ibu pun menyebut nama kami satu persatu. Ibu menyebut namaku dan nama Nia berulang-ulang kali. Air matanya terus menetes membasahi sajadah biru kusamnya. Beberapa kali tampak ibu mengusapkan kain mukenanya ke mata. Aku berdiri mematung seperti batu di samping pintu. Tanpa kusadari air matakupun meleleh melalui sela-sela kelopak mataku. Begitu tulusnya doa ibu untuk kami, begitu banyak doa yang disampaikan ibu kepada Allah untuk kami. Bahkan aku tak mendengar ibuku bedoa untuk dirinya sendiri. Aku tertunduk memelas meminta belas ampun kepada Allah, betapa jahatnya aku yang memiliki perasaan buruk kepada Ibu.
Pada saat itu juga, aku berjanji pada diriku sendiri. Di hadapan Tuhan yang menciptakkan aku, Tuhan yang Maha tahu segala isi hati. Aku berjanji kepada diriku sendiri, aku tak akan menyerah pada keadaan busuk ini. Aku tak akan pernah menyerah pada kemiskinan ini, aku tak akan menyurutkan langkah walau sejengkal, aku akan merubah keadaan ini menjadi lebih baik, akan kumulikan kedua orang tuaku. Karna aku tahu tak akan pernah mampu aku membalas jasa-jasa beliau. Kuikrarkan janji itu di dalam hatiku, di hadapan langit. Dan pasti dicatat oleh malaikat sebagai janji yang harus kutepati...
Samar-samar cahaya matahari senja kembali terlihat, angin timur laut berdesir pelan penuh kedamaian. Sekawanan pipit berkejar-kejaran sibuk menjari tempat peraduan. Dari ruang samping tempat kududuk tiba-tiba terdengar suara.
“Eyang putri datang.....Eyang Putri datang....!!” renyah suara teriakan seorang anak kecil mungil dengan busana muslim serba biru. Anak kecil itu berlarian keluar menghapiri seorang wanita paruh baya yang ada di depan rumah.
“Ehhh...Zahra....!! sapa perempuan tua itu dengan penuh antusias.
“Eyang....!!!” teriak anak kecil laki-laki dari sebuah kamar di sudut selatan ruang tamu.
“Ehh...Kahfi...!! cucu Eyang...!! ucap perempuan berambut putih itu pada anak laki-laki yang datang menghapiri dan langsung memeluk tubuh bungkuknya.
“Mana Ibumu??”
“Ibu Fira....!! Eyang datangg...!!”. Kompak kedua anak kecil itu memanggiku.
Aku segera menutup album foto kenangan yang ada dipangkuanku dan beranjak keruang depan. Segera kusalami perempuan tua itu serta kucium tangan rapuhnya yang telah kasar dan keriput.
“Mana Ardi...??” tanya perempuan tua itu padaku.
Mendengar namanya disebut-sebut, mas Ardi segera keluar dari ruang praktiknya masih dengan kostum serta putih karena baru saja selesai menangani pasien. Tak lama kemudian keluarlah seorang gadis cantik dari sebuah mobil sedan putih. Sambil berlari-lari ia memanggilku.
“Mbak Fira...!!”
“Nia...!!”,
“Bagaimana, sudah selesai S2 mu?' tanyaku pada adikku.
“Tinggal ujian tesis bulan depan Mbak, minta doanya ya Mbak..!!”
“Tentu...!!” jawabku.
Samar-samar terdengar Adzan Magrib berkumandang dari masjid di daerahku ini. Dalam hati aku berkata, ya Allah inilah janjiku dulu, dan janji-Mu pun telah Engaku tepati. “Siapa yang bersungguh-sungguh dia pasti berhasil”. Ya Tuhan, telah kuikhlaskan hidupku ini padamu, dan telah kutunaikan janjiku padamu. Maka curahilah keluarga kami ini dengan hujan dari awan rahmat-Mu...
Betapa bersyukurnya aku ini, kini telah kugapai mimpi-mimpi masa kecilku dulu, mimpi yang diterangkan ayahku saat beliau memboncengkanku menuju kesekolah. “Menjadilah orang yang berguna bagi orang lain, betapa indahnya hidup ini bila kita bisa meringankan beban orang lain dengan tangan kita...!!” begitu pesan ayahku yang masih terpatri di hatiku. Dengan usaha kerasku dan prinsip, “Man jadda wa jadda” “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti dia akan berhasil”, alhamdulillah selama studi aku selalu mendapatkan peringkat pertama sejak di SD 01 Muhammadiyah Muara Padang, sampai SMA. Dan mendapat beasiswa untuk kuliah di fakultas Kedokteran. Semua itu tak lepas dari ridlha Allah dan kedua orang tuaku. Puji syukur, akupun telah menunaikan janji yang diam-diam kupendam di dalam hati waktu kecil dulu sewaktu aku menyaksikan ibuku sholat malam. Aku telah memberangkatkan beliau ke tanah suci Mekkah tahun lalu. Syukur itu tak ada habisnya bila kucapkan, karena Nia pun selalu mendapat beasiswa hingga dia kini S2 dan tinggal ujian tesis. Dari usaha kecil-kecilanku bersama Mas Ardi suamiku, kami mendirikan sebuah rumah Singgah untuk anak-anak yatim dan anak jalanan. Aku sering tersenyum sendiri ketika melihat indahnya senyum anak-anak polos itu, benar sekali kata ayahku, betapa indahnya bila kita bisa berguna bagi orang lain dan meringankan beban orang dengan tangan kita. Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti dia akan berhasil...!!!


Pajang, Kartasura, Sukoharjo, Juli 2010

Sepenggal kisah oleh: Ali Ardianto

Tidak ada komentar: