bekajar besama

bekajar besama

Minggu, 04 September 2011

Senyuman Bara Api

Di setiap sudut bumi ini udara dapat dihirup secara bebas. Meskipun tipis seperti sekat pemisah antara kehidupan dan kematian. Udara adalah bukti cinta Tuhan kepada manusia. Di sudut lainnya daratan yang acak-acakan dilahap badai seperti seorang anak kecil yang sedang meniup mainan balon dari air sabun, angin itu berputar-putar, menggelagak, berderu, mengoncang-goncangkan seluruh pohon dan bagunan yang ada, lalu awan pekat membumbung berputar-putar membawa beribu-ribu ton kubik air. Langit membelah diri seperti amoeba yang sedang bereproduksi, pada satu bagian air bah tumpah ruah meneggelamkan manusia-manusia serakah.

Pada bagian lainnya matahari bersinar begitu ramah, sinarnya lembut merambati daun-daun dan memantul di atas cermin laut, terjebak di atas Troposfer menari-nari bersama ultaraviolet dari kristal-kristal awan yang berubah menjadi denting-denting gelas piala. Sementara sebagian lagi memantul kembali ke bumi membakar gudang-gudang busuk yang ditempati kutu. Api itu menyulut seluruh bangunan dan membentuk titik-titik huruf Braille, yang apabila huruf itu diterjemahkan kedalam bahasa manusia akan berbunyi:

“H.....E.....L...P. “HELLLPPPPPPP...!!!”

Aku merunduk gugup, jantungku berdetak mengoyak-ngoyak dadaku. Kutu-kutu kupret merambati rambutku senaknya, serangga-serangga pengisap darah menaiki jengkal demi jengkal kakiku yang berderik gemetar, mataku pedih nanar menahan rasa takut. Aku tak tahu mengapa bisa terjebak di tempat busuk ini, bau busuk tumpukan jerami dan daun tebu kering menusuk-nusuk liar kedalam lambung, tubuhku terasa gatal seribu gatal, gatal bercampur perih dan rasa takut, semut nyangkrang mengencingi rambutku beberapa kali. Tokek berteriak-teriak mengusirku dari rumahnya. Sontol Si Rambut Landak, menahan nafasnya sampai berkali-kali hembusan nafasnya keluar dari bawah, dan anehnya nafas itu agak berbeda, baunya seperti comberan mampet yang ditiduri mayat tikus. Perut ini rasanya seperti adonan bolu yang dicampur berputar-putar, melit-lilit pengen muntah. Dan biang dari segala biang kesialan ini, menikmati setiap detik ketegangan yang diciptakannya. Di situasi kalut seperti ini dia masih sempat tertawa memamerkan gigi-gigi kuningnya dan memperlihatkan matanya yang sipit. Dia menggaruk-garuk kulit sisiknya yang mulai dirambati semut dan cicak. Tiok benar-benar menyesatkan kami ke lokalisasi sesat ini. Lokalisasi mesum para serangga dan kaum reptil kecil. Di gudang bobrok busuk tempat penyimpanan jerami dan daun tebu ini. Aku mengutuku diriku sendiri mengapa aku mau terbujuk rayu dan tipuan muslihatnya. Kami bertiga terjebak di gudang busuk ini gara-gara dikejar warga kampung dengan bersenjata lengkap. Kami bermaksud berburu burung yang tidur dipohon-pohon untuk disate. Tapi justru kami diteriaki maling sehingga dikejar-kejar warga kampung yang sedang kalut karena memang sedang musim maling. Kami lari pontang-panting seperti tikus dikejar kucing, merayap-rayap seperti ular di atas tanggul tanaman tebu, merangkak di bawah galengan ubi jalar dan akhirnya tersesat di gudang penyimpanan jerami dan daun tebu terkutuk ini.

Suara keributan di luar semakin dekat, cahaya lampu obor dan senter menembus lubang-lubang papan dari gudang busuk ini, derap langkah puluhan orang mengelilingi gudang semakin menakutkan, beberapa kali terdengar orang memukul-mukulkan celurit dan linggis ke dinding gudang tanda kesal. Berkali-kali terdengar suara umpatan dari para pemuda yang marah bercampur kesal. Mereka mengatai kami dengan seribu sebutan untuk seluruh isi kebun binatang yang menjijikkan dan mengesalkan.

Aku menahan nafas untuk beberapa menit agar tak digigit vampire pengisap darah, seekor kalajengking dan laba-laba mendarat di jidatku. Mereka mengira jidatku yang lebar sebagai lapangan bola. Laba-laba dan kalajengking itu bertengakar berdebat masalah tempat wilayah. Kalajengking mengangkat ekornya yang tajam seperti busur tombak, mencubit-cubit kulit jidatku dengan kakinya untuk menakuti dan mengusir laba-laba. Bukan Laba-laba namanya kalau mau kalah, tak akan ada lagi film Spiderman kalau laba-laba takut pada Kalajengking, laba-laba itu mengigit-gigitkan taringnya ke rambutku selayaknya sedang mengasah pedang, mengeluarkan beberapa centimeter jaring-jaring mautnya juga di jidatku. Sial sekali aku hari ini, nafasku sudah tak tertahankan lagi, aku ingin bangun dan melemparkan binatang terkutu ini.

“Suttttttssss...!! Tenang Men, jangan bergerak sedikitpun, aku akan menyelamatkan nyawamu...!!” Tiok berbisik pelan di telingaku.

“Dalam hitungan tiga, kamu harus menahan nafas panjang dan menutup matamu..!!” Dia kembali berbisik lirih di telingaku. Aku hanya mengedipkan mata, ingin sekali aku mencongkel mulut manusia sinting ini. Seenaknya saja dia bilang, menyuruhku menahan nafas untuk beberapa detik lagi, aku sudah tak kuat lagi, sudah hampir empat menit aku tak bernafas wajahku sampai merah padam menahan nafas. Apa dia pengen aku mati...!!

Tiok kembali melintangkan telunjuknya di bibir, sambil berbisik.

“Diam...!! Orang-orang kampung masih ada luar disana...!!”

Dia pun membentangkan kedua jari-jari tangannya, menutup satu-persatu jarinya untuk memberi kode hitungan, satu ibu jari, dua telunjuk, dan tiga jari tengah.

“Plackkk...Plackk...!!

Ceprottt...Ceprottt...!!”

“Awh...Awhhhh...!!”

Tiok memukul kedua serangga di jidatku tanpa ampun. Tak kira-kira dia menamparku dengan setengah tenaganya, pukulannya tepat pada sasaran. Dan ceprott...sial...!! Serangga itu gepeng hancur di jidatku, darahnya yang seperti lendir lengket membasahi jidatku. Ini seperti adegan melempar telur busuk kemuka koruptor. Hahhhh...!!! aku akan membuat perhitungan khusus dengan Tiok setelah ini. Sontol dan Tiok terkekeh-kekeh memegangi perut melihat mukaku yang penuh lendir serangga terkutuk tadi. Mereka bahagia sekali melihat aku merana. Teganya mereka, di situasi mencekam seperti ini mereka sempat menertawakanku.

“Pak RT bagaimana kalau gudang busuk tak berguna ini kita bakar saja...!! Dari pada dijadikan tempat dedemit bersembunyi...?” Suara seorang anak muda dari luar gudang memberi ide cerdas dan logis kepada Pak RT.

“Akhhh...!!”

Kami kembali menahan nafas, ternyata para pengejar itu masih disini. Sial sekali benar-benar sial, ide anak muda itu cerdas baginya. Perlu pertimbangan lagi bagi Pak RT yang bijak, dan ide itu gila bagi kami yang tersesat di dalam sini. Bagiamana mungkin ide itu akan membakar kami seperti udang lobster yang dipanggang hidup-hidup. Aku merinding mendengar ide gila anak muda itu, Tiok pucat menyesal, Sontol menggigil kedinginan karena takut. Aku ingin lari keluar saja menyerahkan diri pada para pengejar yang sedang kalap itu. Aku tak mau mati terbakar seperti lele panggang. Orang mati terbakar tak akan bisa dimandikan tubuhnya, kulitnya rontok melepuh bentuknya tak karuan. Dan cerita masyarakat orang yang mati terbakar dan tidak dimandikan arwahnya akan gentayangan, kepanasan minta dimandikan. Perasaanku dicengkram rasa takut dan bimbang yang begitu hebat. Mati terbakar...!! Mati terbakar...!! Mati terbakar...!! Kata-kata itu melayang-layang di depan mataku.

Aku teringat dengan kejadian satu tahun lalu, saat Mbah Iyur mati karena terbakar. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri saat Mbah Iyur terbakar, saat terakhir nafasnya dicabut malaikat Izroil, aku melihat dengan jelas sekali bagaimana keadaan fisik orang yang terbakar.

Saat itu aku dan Tiok sedang belajar main gitar di bawah pohon bambu belakang rumah kekekku. Bukan agar mendapat inspirasi bermain gitar di bawah pohon, melainkan karena aku diusir oleh kakekku karena suara gitar falsku membuat gendang telinganya serasa pecah. Aku memetik lagu Himne Guru yang menyedihkan itu, saat itu kami melihat kebon hamparan sawah tanaman tebu yang telah ditebang sepertiganya. Kami berencana meminta tebu untuk dimakan. Biasalah, anak kampung yang tak bisa membeli jajan di warung biasanya menggigit ampas tebu. Saat itu Mbah Iyur sedang berada disana membersihkan kelobot tebu-tebu yang masih muda. Kami minta izin untuk memetik beberapa pohon tebu. Setelah itu kami kembali ke tempat semula, bermain gitar. Kali ini aku memetik lagunya Koes Plus Kolam Susu.

Belum dua menit kami duduk, tiba tiba terdengar suara gemeretak seperti kayu patah, namun angin yang berhembus begitu kencang menyamarkan suara itu. Aku tak mau ambil pusing dengan suara itu, suaraku tetap lempeng dengan Kolam Susu. Suara gemeretak itu semakin menjadi-jadi, diiringi suara ledakan-ledakan kecil dari ranting-ranging basah yang terbakar. Ketika aku membalikkan badan. Masyallah...!!

Api membumbung tinggi seperti raksasa yang hendak menerkam mangsanya. Api itu berada tak jauh dari kami kira-kira lima belas meter. Api berkobar-kobar mengulung-gulung kebon tebu yang mulai tua itu. Asap hitam mengepul tinggi membentuk awan raksasa. Bukan takut atau kawatir, melainkan takjub dan senang itulah yang ada dalam fikiran anak-anak saat itu. Bagiku pemandangan itu indah sekali, seperti api ungun raksasa yang hendak membakar langit, suara ledakan-ledakan kecil itu mengiringi bagaikan bedug hari kemenangan. Aku dan Tiok bertepuk tangan girang. Tak terpikirlah berapa kerugian yang timbul dari kebakaran itu, tak terpikir pula siapa pemilik kebon tebu itu. Intinya di mata kami api itu hebat. Angin berhembus begitu kencangnya meniup api dengan sangat keras. Api itu tertawa dan semakin menjadi-jadi membakar kebon tebu yang luasnya berhektar-hektar. Sekawanan burung terbang lari tungang langgang menyelamatkan diri, dan saat itu pula jam seolah berhenti berdetak karena kehabisan batre, jantungku macet. Aku melonggo, ingat akan orang-orang yang sedang mencari kayu tebu kering tadi. Apa mereka sudah pulang? Apa mereka sudah pergi? Apa mereka tahu kalau tebu tempat mereka mencari kayu telah terbakar? Apakah mereka selamat? Aku dihinggapi berpuluh-puluh pertanyaan.

Rasa penasaran kami atas pertanyaan kami sendiri semakin memuncak. Aku dan Tiok berlari mendekati api itu, sungguh...!! Aku tidak bohong, panasnya minta ampun mahluk ciptaan Tuhan yang bernama api itu. Kami berdiri pada jarak lima meter dan berusaha mendekat, namun panas terasa membakar kulit dan wajah, nyali kami menciut. Aku naik keatas pohon petai cina untuk melihat kejadian itu dari atas. Agar lebih jelas aku kembali menaiki ranting demi ranting hinggga sampai pada bagian yang tertinggi. Mengagumkan sekali api itu, dalam waktu tak kurang dari dua menit sudah melalap mentah-mentah lahan tebu seluas dua hektar, dan kekejamannya itu akan terus dilakukan sampai lahan seluas sepuluh hektar itu habis. Aku merinding melihat api yang bergulung-gulung lima meter di depanku. Dan saat itu, saat aku memandang ke arah tenggara.

“Astaughfirullah...!! Astaughfirullah...!!”

Aku melihat seorang laki-laki tua sedang berlari menyelamatkan diri dari kepungan api. Laki-laki tua itu berlari pontang-panting dikejar api. Dia menerobos tebu-tebu yang masih muda, namun galengan yang ada membuat langkahnya lambat, api yang ditiup angin itu terus mengejarnya. Pak tua itu lari ke kanan, api mengejarnya ke kanan, Pak tua itu lari ke kiri api mengejarnya ke kiri, Pak tua itu berlari mundur ke belakang namun api telah mengepungnya dari segala sisi. Aku panik bukan kepalang, aku berteriak-teriak sekencang-kencangnya agar Pak tua itu berlari kearah selatan, meskipun menerobos api, namun itulah satu-satunya jalan, lapisan api itu lebih tipis dibanding dengan semua sudut yang mengepungnya. Aku berteriak-teriak sekencang-kencangnya sampai pita suaraku mau pecah, sampai tenggorokanku kering dan perih. Pak tua itu masih berusaha mempertahankan hidupnya. Suaraku telah habis, mukaku pucat pasi, mataku merah karena air mata, aku melompat dari ketinggian sepuluh meter tanpa rasa takut. Wajahku tampak sangat panik, Tiok mengira aku kesurupan, mataku melotot-lotot menjelaskan kepada Tiok tentang apa yang terjadi, suaraku kering. Tiok tak percaya, lagi-lagi dia mengira aku kesurupan. Aku berlari mendekati api yang membakar kebon tebu itu. Tiok menarik-narik tanganku berusaha mencegah. Aku berada pada jarak satu meter, kulihat samar dari bayang-bayang sela api, topi koboy Pak tua itu terlempar ke udara dibawa api bercampur angin. Bayangan tua itu berputar-putar, terjatuh lalu bagkit lagi, dan kembali terjatuh. Aku menerobos api yang berada di depanku karena sedikit mulai padam. Tiok menarik tanganku dengan sekuat-kuatnya, dia ikut panik, aku menangis...!!Tiok masih mengira aku kesurupan, aku menampar-nampar wajahku sendiri agar Tiok percaya padaku. Api telah membakar tempat itu hampir lima belas menit.

Tim pemadam kebakaran kampung datang terlambat seperti Polisi India. Warga kampung berbondong-bondong memadati lokasi kebakaran itu. Semua melongo seperti menonton film menegangkan yang memicu adrenalin meraka. Beberapa orang tersenyum bertepuk tangan. Aku menerobos api yang mulai padam itu. Sandal jepit swallow-ku meleleh terbakar api yang menjalar di bawah. Kakiku perih, nafasku perih, mataku perih dan yang paling perih adalah hatiku karena tak bisa berbuat apa-apa saat melihat Pak tua itu berlari kalang kabut menghindari api. Aku membuang sandal jepitku yang telah meleleh. Aku terus berlari mencari dimana lokasi Pak tua tadi jatuh. Aku terus mencari-cari. Tebalnya asap menganggu pandangan. Aku tak perduli dengan perihnya kakiku, aku terus berlari. Bau tengik asap membuat sesak nafasku, berkali-kali aku menaiki dan menuruni galengan. Aku terus mencari...!!

Mulutku menggigil di tengah panasnya api, gigiku gemelatuk, persendianku lumpuh, tulang-tulanku kaku, air mataku menetes ke atas tanah yang terbakar. Aku melihatnya, dimulai dari lutunya yang menekuk ke atas punggung galengan, lutut itu masih bergetar-getar. Aku berlari semakin kencang.

“Astaugfirullahaladim...!!

Pak tua itu tertidur di bawah galengan, kondisinya sangat memprihatinkan. Aku hampir tak sanggup untuk melihat keadaannya, bajunya telah hancur lebur menjadi abu, tak ada satupun kain menempel di tubuhnya. Kulitnya mengelupas, dagingnya mengeluarkan cairan lendir putih, kakinya menganga merah seperti arang yang menyala, tubuhnya telah hangus, rambutnya tak ada satu pun yang tersisa, dadanya robek, kuku-kukunya lepas, matanya terpejam, mulutnya mengeluarkan busa seperti orang overdosis. Pak tua itu masih mengetar-getarkan mulutnya yang berbusa, dia berusaha untuk bicara, nafasnya putus-putus seperti kerbau disembelih, hidungnya mengeluarkan darah yang telah hangus. Dan baunya sungguh amis bercampur hangus bukan dibuat-buat, sangit dan sangat menyengat hidung, pengar seperti aroma mayat yang menusuk-nusuk indra penciuman. Tak salah jika orang-orang mengatakan mayat manusia adalah mahluk yang paling busuk dan bau.

Aku berteriak-teriak minta tolong di tengah hamparan luas kebon tebu yang telah rata menjadi tanah. Tim pemadam kebakaran masih sibuk memadamkan api yang membakar kebon tebu sampingnya. Orang-orang kampung seolah-olah telah tuli semua, mereka sibuk melihat pemandangan api yang membakar ranting basah meledak-ledak seperti kembang api. Aku dan Tiok memutuskan untuk mengangkat tubuh Pak tua itu. Saat pertama kupegangi tubuh Pak tua itu, kulit-kulitnya terlepas, aku kembali mengangkat tubuh panas itu. Pak tua itu masih bernafas, aku dan Tiok berlari membopong tubuh Pak tua itu ke jalan raya, lima hektar jaraknya. Bau amis tak kami hiraukan, tangan kami ikut terasa panas terbakar, kulit dan daging yang terlepas menepel di jari-jari kami. Akhirnya sampai juga kami di jalan raya. Aku panik lari kesana-kemari menyetop kendaraan untuk membawa Pak tua itu kerumah sakit. Aku berdiri di tengah jalan raya membentangkan kedua tanganku seperti orang mau bunuh diri. Banyak mobil yang berhenti, namun tak ada satupun yang bersedia mengangkut tubuh hangus itu. Aku mengedor-gedor setiap pintu mobil, mereka hanya melongo melihat tindakan gilaku melalau kaca jendela. Aku menangis tapi air mataku kering, aku seperti orang gila. Setiap mobil kusumpah-sumpai dengan kata-kata kotor, aku mengutuk tidakan orang-orang kaya tak punya perasaan itu.

Lima belas menit kemudain barulah ada sebuah truk pengangkut pasir berhenti, turun beberapa orang, mereka adalah pihak keluarga korban. Sang istri pingsan di tempat. Anak laki- lakinya yang berbadan segede gajah juga langsung jatuh lemas terkulai ketika melihat kondisi bapakanya. Aku dan Tiok mengangakat tubuh Pak tua itu ke atas bak truk pasir, dan truk pun meluncur menuju rumah sakit dengan sangat kencang. Sang sopir membabi buta. Namun saat setengah kilo lagi sampai ke rumah sakit, Pak tua itu mengerakkan tangannya. Ia menyerahkan sebuah benda yang ada di genggamnya sejak tadi ke tanganku. Pak tua itu merengang nyawa, malaikan Izroil menarik nyawanya dari atas ubun-ubun. Ia tersenyum dalam iringan bau hagus dan amis. Air mataku tumpah di atas bak truk pasir. Pak tua itu telah kaku, nafasnya telah hilang di hisap udara. Aku menangis pilu meratapi nasib Mbah Iyur lelaki murah senyum itu, tetangga kampungku. Aku membuka gengaman di tanganku. Sebuah benda yang dipertahankan oleh Mbah Iyur. Sebuah benda yang diselamatkan Mbah Iyur sampai detik nafas terakhirnya adalah sebuah kunci sepeda kumbang milik Mbah Iyur. Namun bukan kunci itu yang berharga bagi Mbah Iyur, melainkan gantungan yang ada di kunci sepeda itu. Gantungan kunci itu terbuat dari tembaga yang dicurah, dimodel dan dilapisi indah dengan kaca bening. Pada bagian depannya teradapat tulisan lafal Allah dari bahan menkilat bercahaya sejenis kuningan, dan pada bagian belakangnya terdapat tulisan:

Ashaduanla illa haillallah, wa ashaduana Muhammad darosulallah.

Kartasura, Sukoharjo 2009

Sepenggal hikmah di balik kisah oleh: Ali Ardianto

Mahasiswa Fakultas Agama Isalam